Friday, 2 May 2014

Melamun

Sore itu aku melamun, karena yang membonceng aku bukanlah yang biasa. Bukan suamiku. Jadi aku lebih banyak diam. Dan melamun.

Namanya sedari dua jam yang lalu aku ingat-ingat  tetap saja tidak ingat. Matanya yang kecil, hidungnya yang kecil, bibirnya yang kecil (eh??), giginya yang tidak rapi, tawanya yang kencang, jalannya yang miring seperti orang keberatan beban, semua aku ingat. Bahkan aku ingat cara dia memakai jilbab yang asal pakai. Tapi siapa namanya? Aku ingat betul, dia teman sekelasku waktu aku kelas 3 SMA dulu. Gak terlalu akrab memang, tapi dia  pernah memberiku saran untuk nama penaku. Mirza.

Bukan. Namanya bukan Mirza, sama sekali bukan. Mirip pun tidak. Aku belum ingat namanya sampai saat aku selesai makan malam saat ini. Aku ingat, ibunya adalah salah satu guru di SMA-ku itu. Guru biologi. Ah bukan, putri guru biologi namanya Kurnia, dan dia bukan. Sama sekali bukan. Bahkan mirip pun tidak. Ah ya, ibunya guru matematika, namanya bu Iput. Ah,,sepertinya bukan Iput. Guru berjilbab dengan postur mungik dan wajah kecil tirus. Hey benar, bukan Iput,,tapi ah,,siapa pula nama ibunya itu. Mirip-mirip dengan kata Iput sepertinya. Tapi aku tidak mengingatnya. Kini dua nama jadi utang otakku. Modalnya satu. Mirza.

Waktu itu aku begitu senang menulis, tapi aku tidak menulis. Aku hanya membaca cerita-cerita yang ditulis Erma, teman sekelasku, dan kadang-kadang sok menulis cerpen yang ala-ala majalah Aneka. Ya, aku bahkan lupa aku meminjam majalah Aneka dari siapa, tapi aku ingat aku banyak membaca majalah itu. Betul, majalah remaja. Isinya tentang cinta. Kadang sampai kadang tak sampai, tapi tidak ada terong dan cabe, tidak pula pembunuh berdarah dingin. Yang ada hanya cinta muda,  cemburu, sedih dan akhirnya saling suka. Iya betul, ilustrasinya biasanya gambar cewek atau cowok yang cantik dan ganteng, mirip artis muda, bisa siapa saja.

Lalu suatu hari aku sok-sokan mengarang nama pena, alternatifnya daftarnya panjang. Dan ketika itulah dia ada disana, di sampingku dan bertanya aku sedang apa. Lalu dia baca daftar yang aku buat itu. "Ini yang paling bagus", katanya. Mirza. "Coba kau ucapkan!", katanya padaku. Lalu aku mengucapkannya. "Mirza". Dan sepertinya, otakku menandai memori tentang dia dengan nama itu. Mirza. Dan kini aku mengais-ais ingatan, mencari namanya yang tak kunjung ingat. Mirza, Kurnia, Eka, Dewi, Tia, Rahma, Ega, Dhesty, Ninda. Ah bukan, Sitta,,Sitha,,ah ya! Namanya Cita!

Tak salah lagi namanya Cita. Dan ibunya? Ah ya, ibunya bernama  Irul. Bu Irul. Lalala Yeyeye...

Sekarang malah aku kembali mengingat-ingat, kenapa sedari tadi aku keukeuh mencoba mengingat-ingat namanya. Kenapa tiba-tiba aku ingat wajahnya. Bukan, aku bukan penggemarnya. Aku masih mengingat-ingat urut-urutan kerja otakku seharian ini. Ada hubungannya dengan buku. Ada hubungannya dengan cerpen. Ah ya! Aku yang baru menyadari  bahwa banyak temanku yang menjadi penulis, mendadak teringat sama Erma. Lalu Mirza. Lalu wajah itu. Lalu aku tidak ingat namanya. Lalu seharian ini aku mencoba mengingat namanya. Cita Kharisma! Ajaib! Bahkan sekarang aku jadi ingat nama lengkapnya.

Lalu tiba-tiba aku sadar. Aku sama sekali belum menghubungi Erma, nama yang pertama kali kuingat hari ini. Dan menyuruhnya menjadi penulis. Seperti ide yang muncul pertama di otakku tadi ketika mengingat namanya.

Kau tau, semua ini hanya ada di kepalaku. Tak ada yang aku ucapkan sepatah katapun. Bahkan suamiku juga mungkin belum pernah mendengar ada temanku yang bernama Erma, atau Cita.