Monday 2 October 2017

Pesan

"Belum tidur kamu, nduk?"

"Belum, Pak. Rani baru pulang dari kampus. Banyak tugas kelompok yang harus diselesaikan tadi," jawab Rani sambil membereskan tempat tidurnya.

"Bapak sendiri kok belum tidur? Tadi Rani lihat ibu sudah tidur, malah terlihat sangat tenang sekali tidurnya"

"Sebentar lagi bapak nemenin ibu lagi. Bapak juga baru datang. Belum begitu ngantuk."

Lelaki sepuh berambut putih itu lalu duduk di satu-satunya kursi yang ada di kamar Rani. Ditatapnya putrinya yg sudah beranjak dewasa itu penuh arti.

"Nduk, kamu itu sudah besar, sudah bisa mengatur kebutuhanmu sendiri. Nanti seumpama ada laki-laki baik yg memintamu jadi istrinya, Bapak sudah rela."

"Bapak ini lho, Rani kan masih satu semester lagi to kuliahnya. Lagian, ibu masih butuh banyak uang, Rani mau bantu Bapak dulu," jawab Rani sambil duduk di dipan menghadap bapaknya.

"Masalah ibumu itu tanggung jawab bapak, Nduk. Kalau sudah ada yg menjaga kamu, kan bapak juga lebih tenang nanti. Wes pokoke itu pesen bapak ya, Nduk, kamu harus patuh."

"Tapi, Pak..."

"Wes to, bapak tau siapa yg ada di hati kamu. Dan bapak setuju saja. Ibu dan bapak sudah lama kenal dia," jawab bapaknya sambil tersenyum.

"Iya, Pak. Mas Brama juga sudah bilang sama Rani. Tapi ..."

"Brama tau bapak sama ibu merestui. Bapak juga sudah sampaikan ke Brama, jaga kamu baik-baik, kamu satu-satunya anak bapak dan ibu. Bapak dan ibu sudah percaya sama Brama."

"Ya, Pak. Tunggu Rani selesai kuliah dulu. Baru Rani putuskan nanti. Wes bapak istirahat dulu, biar besok bisa kerja lagi," tutup Rani.

"Ya sudah, kamu juga istirahat. Bapak dan ibu sayang sama kamu, Nduk."

"Rani juga sayang sama bapak dan ibu." Dipeluknya lelaki tua itu erat-erat.

Pak Rustam keluar dari kamar Rani lalu menutup pintunya dari luar. Rani berbaring di tempat tidur, mulai memikirkan pesan bapaknya. Kenapa tiba-tiba bapaknya membicarakan Brama? Lelaki yang sudah lama mendekati dia dan juga keluarganya. Lelaki yang selama ini membantu kesulitan keluarganya. Mantri desa itu memang sangat baik, dan punya niat memperistri Rani.

Tiba-tiba pintu rumah Rani diketuk keras dari luar. Rani terlonjak, tidak biasanya malam-malam ada yang bertamu.

"Siapa!"

"Brama! Buka pintunya, Ran!"

Rani bergegas ke pintu dan membukanya. Tampak Brama, pak RT dan Pak Burhan tetangga pak RT, satu-satunya warga yang punya mobil di kampung itu. Di belakangnya, terparkir mobil Pak Burhan.

"Rani kamu yang sabar ya... Bapakmu ...," kalimat Brama terputus sambil dia menggiring Rani ke mobil.

Bapaknya terbujur kaku di bak belakang mobil Pak Burhan. Laki-laki itu tidak bernafas, berwajah tenang dengan sebaris senyuman. Di sampingnya, tersandar cangkul yang biasa dibawa bapaknya berangkat bekerja di sawah.

"Bapaaaaaakkk!" Dipeluknya tubuh kaku bapaknya. Diciuminya wajah lelaki yang sudah membesarkan dia itu penuh haru.

"Bapak kenapa bisa begini, Paaakk? Kenapaaa?"

Brama memeluk Rani, mengusap-usap punggungnya menenangkan. Dia pun merasa sangat kehilangan.

Dan mereka tidak sadar. Perempuan tua lumpuh yang terbaring di dalam rumah itu juga sudah mulai mendingin, dan menjadi kaku.

Apa yang Dibutuhkan Untuk Menjadi Keras?

Sambil menunggu OB kantor membelikan saya makan siang, mari kita berfikir sejenak, tentang apa yang dibutuhkan untuk menjadi keras?

Apa yang dibutuhkan agar sesuatu yang semula cair agar menjadi keras?

Panas?

Ya, jika yang semula cair itu adalah lumpur, adonan kue, adonan semen, dan nasi.

Dingin?

Ya, jika yang semula cair itu adalah aspal, karamel, kaca, besi, agar-agar/jelly dan plastik.

Jadi, untuk mengubah bentuk benda dari cair menjadi padatan saja ada dua hal yang bertolak belakang yang dibutuhkan, tergantung benda yang ingin dipadatkan itu apa.

Apalagi mengubah sifat dan karakter manusia, dimana jauuuhhh lebih kompleks daripada mengubah bentuk benda.

Saya sering melihat orang yang menyamakan orang lain dengan dirinya. Memberikan saran yang setengah memaksa kepada orang lain karena alasan "kalau aku sih ... ." Iya, kadang saya juga memberi saran dengan menyamakan dia dengan diri saya, menganggap sama kondisi orang lain dengan kondisi saya. Padahal itu hal yang tidak masuk akal, mana mungkin orang lain sama dengan kita kan?

Dan saya tiba-tiba menemukan analogi itu. Untuk mengubah benda yang berbentuk cair menjadi padal aja beda-beda suhu yang dibutuhkan, apalagi mengubah manusia. Ini membuat saya harus berfikir lebih cerdas, belajar untuk lebih bisa menempatkan diri ketika akan memberikan saran kepada orang lain, di posisi mana sebaiknya saya berfikir ketika akan mencari saran.

Ya Allah, muter-muter sangat ya tulisan ini, hahahaha

Intinya semua kondisi itu berbeda meskipun tujuannya sama. Kondisi yang berbeda membutuhkan treatment yang berbeda-beda, jadi sebelum memberikan treatment, kenali dulu objeknya. Untuk hal yang sederhana saja pengenalan objek itu harus, apalagi hal yang kompleks. Sekompleks kebiasaan manusia. Mari belajar memahami kondisi orang lain dulu sebelum "memaksa" memberi treatment, baik itu teguran, saran ataupun kritik. Kalau nggak "memaksa"?

Kalau nggak memaksa, silahkan sampaikan apa yang ingin Anda sampaikan, lalu jangan baper kalau tidak ditanggapi sesuai mau Anda.

#eaaaa