Monday, 30 October 2017

Manusia Tanpa Kartu

Semua warga kampung sini memanggilnya Fulan, walaupun sebenarnya, tidak ada satupun yang tahu nama aslinya. Rumahnya ada di ujung jalan setapak yang memisahkan rumahku dengan rumah kakekku, tepat berada di bawah rimbunan pohon bambu. Di sanalah setiap hari aku bermain dan mendengarkan dia bercerita tentang apapun yang kutahu sebagian besar ceritanya itu hanya ada di dalam kepalanya saja, tidak benar-benar ada di dunia nyata.

Paman Fulan orangnya sangat tampan, kulitnya putih dan matanya kebiru-biruan. Rambutnya coklat dan hidungnya sangat mancung, sangat berbeda dengan orang-orang di kampung kami yang berkulit cokelat gelap dan rambut hitam. Kalau mau tau seperti apa dia, kamu bisa lihat di televisi, dia itu mirip seperti Mike Lewis, tapi rambutnya cokelat dan matanya biru, itu saja. Saking miripnya sampai-sampai dulu aku mengira Paman Fulan bisa masuk ke dalam televisi. Cuma bentuk fisiknya saja yang membuatnya sangat berbeda, logat bicara dan tindak tanduknya sama saja dengan kebanyakan warga kampung kami. Tapi ada satu kelebihan Paman Fulan, yaitu dia sangat suka sekali bercerita, kurasa kalau dia sungguh-sungguh, dia bisa jadi juru dongeng paling hebat di seantero dunia. Karena ceritanya itu pulalah setiap hari aku rajin datang dan membantunya meraut bilah-bilah bambu tanpa dibayar.

Pagi ini aku sudah duduk rapih di depan ruman Paman Fulan, membawa pisau kecil untuk menghaluskan bilah-bilah bambu.

"Anak pintar, pagi-pagi sudah siap bekerja!" Paman Fulan keluar dari rumahnya masih berbungkus sarung.

"Iya Paman, hari ini aku mau mendengar ceritamu yang baru, dan seperti biasa, aku akan membantumu menghaluskan bilah-bilah bambu yang akan kau anyam ini," jawabku penuh semangat.

"Hari ini kita libur bekerja, Nak. Kamu duduk saja mendengarkan ceritaku, karena hari ini hari istimewa." Paman Fulan mengangkat aku dan mendudukkan aku di bale-bale yang ada di depan rumah bambunya, lalu dia masuk kembali ke dalam rumah kecilnya.

Tak lama kemudian Paman Fulan keluar membawa sebuah peti dan meletakkannya di depanku. Dibukanya dengan hati-hati peti itu lalu dikeluarkannya sebuah kain berwarna coklat yang berbentuk seperti baju penjaga hutan yang pernah aku lihat di televisi.

"Kamu tahu apa ini?" Aku menggeleng.

"Hari ini aku akan bercerita tentang baju ini. Baju ini sangat bersejarah dan penuh arti buat paman. Mungkin seumur hidup paman, baju ini akan tetap paman jaga. Nanti, kalau sewaktu-waktu paman meninggal, paman menitipkan wasiat besar padamu ya! Tolong ikutkan baju ini di kubur paman." Aku mengangguk riang, aku diberi wasiat penting! Meskipun aku tidak yakin Paman Fulan akan cepat mati, karena umurnya masih muda, kata ayahku, perkiraan umur Paman Fulan itu tiga puluhan, apakah mendekati tiga puluh atau empat puluh aku tak tahu, jadi kubilang umurnya tiga puluh lima tahun saja.

Aku menatap matanya yang biru berkilauan. Aku tahu Paman Fulan adalah orang yang sangat cerdas, aku pernah mendengar cerita kakekku tentang asal usul Paman Fulan. Bahwa suatu hari di kampung kami tiba-tiba muncul seseorang dari hutan yang terletak di ujung kampung. Dia hanya berdiri saja sepanjang hari di bawah pohon beringin di pasar, memperhatikan orang-orang lalu lalang. Anak-anak kecil, mengerumuninya karena keanehannya. Tubuhnya mirip seperti gembel gila, tanpa baju. Setelah tiga hari seperti itu, para tetua kampung membawanya ke kantor desa, membersihkannya, menggunduli rambutnya yang gimbal dan memberikannya pakaian. Ditanya apapun mulutnya hanya mengembangkan senyum yang sangat lebar, tanpa satu patah kata pun, sehingga warga kampung mengira dia bisu dan tuli. Lalu dia tinggal di pondok kecil ini, pondok yang sebelumnya adalah rumah nenek tua tanpa keluarga yang meninggal beberapa hari sebelum kedatangan Paman Fulan di kampung ini. Setiap hari dia duduk di pasar, memperhatikan orang-orang seperti sedang mempelajari sesuatu, dan benar, selang lima bulan sejak kedatangannya, tiba-tiba Paman Fulan bisa berbicara dan bertingkah layaknya manusia biasa. Paman Fulan sudah ada di rumah ini kurang lebih 10 tahun, aku rasa dia datang ke sini ketika aku dalam kandungan ibuku.

"Baju ini adalah milik seorang perempuan yang sangat mencintai hutan. Sepanjang hari sepanjang malam dia berkeliling hutan. Dibuatnya pondok kecil di atas pohon tempat dia tidur bersama burung-burung hantu dan juga monyet-monyet. Anjing-anjing hutan menjadi teman bermainnya sehari-hari. Dia sangat senang tinggal di hutan itu, hingga suatu hari, perempuan itu menemukan seorang laki-laki yang juga sangat mencintai hutan. Sama seperti dia, hanya saja, laki-laki ini belum tinggal di hutan."

"Apakah di hutan itu ada makanan?"

"Ya, di hutan banyak sekali makanan, ada sayuran, ada buah-buahan dan juga ada umbi-umbian. Kamu bisa membuat ikan bakar, membuat sate ayam dan juga membakar burung. Lezat sekali."

"Wow. Lalu perempuan dan laki-laki itu, apakah mereka memberikan bajunya padamu?"

"Iya, tapi dengarkan dulu ceritanya. Perempuan dan laki-laki itu kemudian menikah lalu bersama-sama tinggal di hutan. Tak lama perempuan itu mengandung seorang bayi. Sayangnya, ketika saat melahirkan, suaminya sedang pergi ke kota membeli kebutuhan dan tidak ada saat istrinya melahirkan. Dan ternyata, perempuan itu akhirnya harus meninggal karena kelahiran putranya tidak berjalan sebagaimana seharusnya." Paman Fulan tersenyum sangat samar.

"Lalu apakah anaknya masih hidup? Apakah anaknya bertemu dengan ayahnya?"

"Iya, anaknya masih hidup. Monyet-monyet dan anjing-anjing yang baik hati membawa anak itu pergi dan sampai saat terakhir, bayi itu tidak bertemu dengan ayahnya." Paman Fulan berhenti bercerita, dielus-elusnya kepalaku yang mulai gondrong.

"Bayi itu tumbuh besar dan hidup di dalam hutan bersama monyet-monyet dan anjing-anjing. Setiap hari berlarian kesana kemari bersama-sama. Mereka tumbuh besar dan menua bersama, hingga anjing-anjing dan monyet-monyet yang membersamainya sejak bayi mati satu per satu."

"Si bayi yang beranjak besar mulai berfikir, hewan apakah dia? Orang tuanya siapa? Apakah ada makhluk yang seperti dia? Kenapa dia hidup bersama monyet dan anjing dan hewan-hewan hutan yang tidak ada yang seperti dia?"

"Kasihan bayi itu."

"Iya, kasihan. Sampai pada akhirnya dia berjalan terus menerus berkeliling hutan berusaha mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu. Lama sekali dia berjalan dan sangat jauh sampai akhirnya dia sampai di sebuah perkampungan. Di sana dia melihat mereka semua, sekumpulan manusia! Iya, makhluk yang sama seperti dia. Dia sangat senang sekali tapi dia sama sekali tidak mengerti apa yang orang-orang itu lakukan dan bicarakan."

"Sepanjang hari dia mengamati orang-orang itu berusaha mencerna, dia ingin bersuara tetapi tidak bisa. Jadi dia hanya mematung disitu sampai pada akhirnya ada orang-orang yang datang membawanya pergi dan menjadikannya seperti manusia yang lain."

"Apakah bayi itu adalah, Paman?"

Paman Fulan hanya tersenyum tanpa memperlihatkan giginya, tanda bahwa jawaban atas pertanyaanku adalah benar. Paman Fulan setiap hari menceritakan kisah baru kepadaku dan selalu membuatku bertanya-tanya. Terkadang ceritanya sangat ajaib sehingga aku tahu cerita itu hanya karangan dia saja. Tetapi terkadang ceritanya begitu dapat aku percaya, sehingga aku berfikir bahwa dia sedang menceritakan orang yang ada di sekitarku, atau bahkan tentang dirinya sendiri. Setiap kali aku bertanya, jawabannya selalu membuatku berpikir keras, tetapi aku bisa merasakan apa jawaban yang ingin diberikan Paman Fulan. Aku mungkin terdengar sok tahu, tapi kurasa aku benar tentang hal itu.

Pernah suatu kali Paman Fulan bercerita tentang bagaimana cara dia menemukan teknik menganyam bambu yang baik dan benar. Katanya dia memperoleh ilmu menganyam itu dari seorang nenek-nenek tua yang memberikannya ilmu lewat mimpi. Di mimpinya itu, dia diajari cara meraut bambu tanpa menyentuh dan tanpa tenaga. Lalu dia bilang, nenek-nenek itu kenal dengan aku, makanya aku jadi rajin datang ke pondok Paman Fulan dan membantu dia meraut bambu-bambu yang sudah dia belah-belah. Aku tahu dia mengarang penuh cerita itu, walaupun pada kenyataannya dia berhasil meraut bambu tanpa menyentuh dan tanpa tenaga, karena akulah yang megerjakannya. Sungguh jenius bukan?

"Jadi baju itu adalah baju ibunya Paman?"

Lagi-lagi Paman Fulan hanya tersenyum seperti sebelumnya. Dia lalu mencium baju itu, dan memasukkannya kembali ke dalam peti.

"Kamu tahu, Danar, manusia itu diberikan akal dan perasaan oleh Tuhannya sehingga dia itu bisa berfikir dan merasakan. Manusia dari hutan itu pada akhirnya bisa berbicara seperti kita, bertingkah laku seperti kita dan hidup seperti kita. Seperti bayi yang awalnya tidak bisa berbicara, berjalan dan berhitung, manusia ini bertahun kemudian akhirnya menjalani hidupnya benar-benar sebagai manusia."

"Apakah manusia yang berasal dari hutan itu adalah Paman? Hahaha. Menurut kamu, apakah mungkin ada bayi yang dirawat oleh monyet-monyet dan anjing-anjing sampai besar?"

"Ya mungkin saja, Paman. Anjing-anjing dan monyet-monyet itu kan baik." Paman Fulan tergelak mendengar jawabanku.

"Kalau begitu, mungkin saja bayi itu adalah paman."

"Suatu saat nanti, apakah paman akan tinggal di hutan?"

"Tentu tidak. Paman akan terus di sini sampai paman memiliki anak cucu."

"Hahahaha! Kalau begitu Paman harus menikah!"

"Iya, nanti paman akan menikah setelah paman memiliki kartu-kartu itu. Kartu-kartu manusia, kartu yang harus paman urus supaya paman bisa disebut manusia seutuhnya," jawabnya sambil tersenyum sangat lebar.

Aku tertawa mendengar kalimat terakhirnya, karena aku melihat Paman Fulan adalah laki-laki yang utuh tidak kurang satu apapun. Bahkan banyak sekali gadis-gadis yang tertawan wajahnya yang rupawan. Hanya saja, kata orang-orang, kalau dia mau menikah minimal dia punya KTP dan KK, sedangkan nama pun Paman Fulan tidak punya. Ah urusan orang tua terkadang memang rumit.