Thursday, 28 September 2017

Ada Yang Mengganggumu?

Ada yang mengganggumu?
Sini bilang aku,
Bogemku tak kalah dengan palu

Ada yang mengganggumu?
Mana dia, kutantang duel berdua

Ada yang mengganggumu?
Sebut namanya, janjiku besok dia tak lagi ada

Kau bilang aku kejam?

Kuulangi sekali lagi,
Ada yang mengganggumu?

Tak boleh ada yang mengganggumu, cantik

Selain diriku

Malam Ini Aku Ingin Berpuisi

Malam ini aku ingin berpuisi
Sebelum datang pagi dan timbunan tugas mengapus setiap kata yang tertera

Malam ini aku ingin berpuisi
Untuk kalian yang satu per satu pergi, tanpa bisa kutangisi

Kadang jarak membuat tangis hilang arah
Kadang tangis harus dipancing dengan umpan mata kucing

Puisiku
Adalah ucapan terima dan kasih
Telah kuterima ajaranmu dan kukasihi penerusmu
Telah kuterima maksudmu dulu dan kukasihkan pada yang perlu
Telah kuterima kenyataan ini dan sepenuh kasih doa mengiringi

Kalian baik-baik di sana ya
Ada Tuhan yang tak lelah mengasihi

Aku rindu selalu
Sepanjang hari cerah, hujan ataupun bersalju

Tak lagi bisa kuminta doa kalian
Jadi,
Tanpa kalian minta, kukirim doaku.

Amiiin

Pagar Mangkok

Ratusan buah sawo yg sudah dipanen itu harus kami cuci, digosok satu per satu menggunakan sabut kelapa supaya butir-butir kasar di permukaannya hilang. Tumpukan buah sawo yang mulus itu adalah hasil kerja keras kami menggosoknya seharian. Setelah bersih, kami memasukkannya ke kantong-kantong plastik besar, untuk kemudian kami bagi ke tetangga kanan kiri. Sisanya, ibu akan memeramnya untuk  kami sekeluarga.

Tak lama berselang, giliran kami membagi-bagikan mangga hasil panen dari dua pohon mangga di samping rumah. Tak ada bosannya ayah ibuku menyuruh kami membagi dan membagi.

Tak ada yang sedang dipanen? Ayah ibu tak menunggu panen, kami akan sigap membagi makanan yang ada di dapur kecil kami. Tempe goreng, mie goreng, tahu goreng, atau pecel akan siap kami antarkan ke rumah tetangga sehabis waktu solat magrib. Minimal seminggu sekali kami menjadi kurir kecil ayah ibu.

Kata ayahku, "Pagar mangkok itu lebih kuat daripada pagar tembok." Selalu itu kalimat yang keluar ketika aku mulai bertanya mengapa. Di pikiranku, gambaran mangkok bertumpuk-tumpuk tampil, dan dalam hati aku berbisik, mangkok adalah benda yang tidak mungkin dijadikan pagar oleh orang waras. Biasanya, aku hanya akan mengiyakan kalimat ayahku itu supaya lekas diberi izin untuk pergi bermain di kebun tetangga.

Aku tersentak. Lampu-lampu kembali menyala setelah sekitar satu jam pemadaman listrik. Lamunanku buyar.

Aku jadi sadar, bagaimana mungkin aku merasa miskin, jika mereka selalu melatihku untuk berbagi dan berbagi. Bagaimana mungkin aku merasa miskin, jika mereka selalu melatihku untuk sibuk berbagi tanpa sibuk menghitung rejeki orang lain. Bagaimana mungkin aku merasa miskin, jika pagar kami adalah mangkok, yang jauh lebih kuat dari pagar tembok.

"Athaaaaa!"

"Ya, Ma!"

"Ayo kita keliling kompleks, bawa kotak-kotak kue di atas meja itu ke depan ya, Mama bawa bagian yang beratnya," kataku sambil menenteng beberapa plastik berisi mangga hasil panen sore tadi.

Yuk, Nak, kita bangun pagar mangkok kita, pagar yang lebih kuat dari pagar tembok. Karena pagar mangkok lebih dari sekadar pagar, dia adalah kasih sayang yang menular dan akan selalu berbalik kepada kita seperti bumerang. Dan kaya, kaya itu adalah rasa yang akan ibu beritahukan padamu dengan perlahan. Nanti ibu akan perlihatkan padamu, walaupun tidak banyak harta yang dimiliki kakek nenekmu, mereka adalah orang kaya yang sebenarnya.

#odop