Friday 6 October 2017

Anak

"Ibu dimana?"

"Di sini, Mbak," sahutku.

"Oh...," jawabnya sambil menghampiriku.

"Habis mudik to, Mbak?"

"Iya nih, baru datang kemarin."

"Naik apa?"

"Biasa, naik bis. Udaranya puanaaasss, saya sampai gembrobyos. Untung aja nggak macet, Bu."

"Anak jadi ikut ke Jakarta?"

"Nggak mau, Bu. Katanya mau kerja di sana saja. Lagian kerja di sini juga mau kerja apa ..."

"Sudah selesai sekolahnya?"

"Sudah. Sudah lulus SMA kemaren itu, tapi tetep enggak mau ikut kesini. Ya tadinya kan kalau ikut ke sini kumpul semua sekeluarga."

Terdengar bunyi telepon genggam. Mbak Mur mengangkat telepon dan mendekatkan alat itu di telinganya.

"Lagi kerja." Telepon ditutup.

"Ibu tambah gemuk aja. Ayem ya, Bu."

"Hahaha. Iya, Mbak Mur. Ayem. Seneng."

"Saya juga ini tambah gemuk. Tapi gak enaknya jadi gampang capek."

"Iya keberatan kakinya, Mbak. Hehehe. Dulu Mbak Mur sama Mas Jono kenal dimana?"

"Kenal di yayasan, pas lagi pelatihan, Bu. Terus kerja bareng, terus nikah."

"Cinta lokasi nih ye? Hahahaha."

"Ibu bisa aja. Hehe."

"Anak Mbak Mur normal?"

"Lihat maksudnya, Bu? Iya, alhamdulillah orang lihat, Bu. Nggak tuna netra seperti bapak ibunya."

"Di kampung tinggal sama kakek neneknya?"

"Iya, Bu. Sejak umur 4 tahun saya tinggal kerja. Sekarang udah gede, eh tetap mau di sana. Nggak mau diajak ke sini."

Setiap kali kesini aku selalu ingin tahu tentang anaknya. Bagaimana mereka merawat dan mendidik anaknya? Bagaimana sikap anaknya terhadap mereka? Bagaimana kakek neneknya mengasuhnya? Apakah anaknya bangga punya orang tua seperti mereka, atau sebaliknya? Bagaimana kasih sayang anak ke orang tuanya dan sebaliknya? Aku sungguh ingin tahu.

"Permisi!" Terdengar ada orang datang.

"Mau pijit, Pak?" teriak Mak Mur.

""Iya. Mas Jono-nya ada?"

"Tunggu ya!" Mbak Sum menelepon Mas Jono yang ada di kontrakan samping rumah ini.

Tak lama terdengar suara Mas Jono datang dan mulai memijit orang yang baru datang tadi di kamar sebelah. Lalu aku mulai tertidur.

Tiba-tiba terdengar bunyi gaduh. Bunyi tangisan dan beberapa orang berteriak.

"Bu, maaf ya, Bu. Mbak Murnya pingsan. Anaknya di kampung kecelakaan." Wanita tua yang biasa membersihkan rumah ini membangunkanku. Aku buru-buru bangun dan keluar kamar.

Kulihat Mbak Sum terbaring di bale bambu, di pangkuan Mas Jono yang sibuk memijit dan mengoleskan minyak angin di pelipis Mbak Mur yang sudah mulai sadar. Kaki Mas Jono terlihat berdarah, sepertinya karena tanpa sengaja tersandung sesuatu saat menolong Mbak Mur. Pasangan itu terlihat sangat berduka, bagaimana tidak, anaknya semata wayang yang sedari kecil tinggal jauh dari mereka sedang mendapat celaka. Dan entah bagaimana keadaannya sekarang, sedangkan untuk kesana, dibutuhkan waktu belasan jam naik bus.

"Mas Jono, Mbak Mur, mau pulang kampung? Ayo bersiap-siap, kami yang akan antar," kata suamiku yang sebelumnya duduk di teras depan membaca buku untuk membunuh waktu menungguku dipijit.

Aku tidak mampu berkata apa-apa. Tak terasa air mataku mengalir. Mbak Mur, perempuan setengah baya tanpa bola mata itu terdiam. Tatapan kosong pun dia tak punya. Seumur hidupnya tak pernah sekalipun dia melihat wajah putrinya, tapi rasa cinta seorang ibu siapa yang bisa menandingi. Mas Jono, laki-laki tambun yang buta sejak kecil itu beranjak ke kontrakannya, bersiap-siap katanya.

Tak apa. Dua hari ini kami berikan waktu kami untuk mereka. Untuk tahu besarnya kasih sayang orang tua kepada anaknya, tidak harus menjadi orang tua dulu. Delapan tahun kami menunggu, tapi kalau Tuhan belum memberi kami bisa apa.

Matahari mulai terbenam ketika kami berangkat menuju kampung halaman Mbak Mur. Kami mampir sebentar ke rumah untuk mengambil bekal dan pakaian secukupnya. Aku belum sekalipun menanyakan bagaimana kondisi putri mereka, karena mereka tiba-tiba saja menjadi pendiam yang paling diam. Aku berharap, putri tercinta mereka masih hidup.