Friday 29 December 2017

Berbakti Itu Berat

Pagi ini ketika selesai menyeduh segelas teh manis panas dengan beberapa sendok air lemon, saya membaca pesan dari salah seorang sahabat saya. Dia bercerita bahwa susah sekali mengajak orang tuanya hidup sehat mengingat sudah ada beberapa penyakit berat yang diderita orang tuanya, alih-alih nurut, orang tuanya justru mengelak dan bersikeras dengan kemauannya sendiri.

Saya jadi teringat ibu dan bapak saya yang keduanya sudah kembali ke hadirat Allah. Mereka juga sama. Dan saya yakin, di dunia ini banyak sekali orang tua yang seperti itu. Mereka salah? Tidak, mereka sama sekali tidak salah. Dalam pandangan saya, itulah watak yang Allah letakkan pada manusia di usianya yang sudah menjelang senja, banyak faktor yang membentuk itu sepanjang masa hidup mereka. Dari sisi kita sebagai anak, tugas kita adalah tetap berbakti. Kekerasan watak mereka itu adalah ujian buat kita, ujian yang tentu saja tidak ringan, karena ada setan-setan yang tidak ingin kita menjadi anak sholeh/sholehah yang berbakti.

Waduh, mbahas begini aja sampai bawa-bawa setan ya, Na?

Tentu saja. Seperti kita tahu, berbakti kepada orang tua adalah hal yang disebut-sebut Allah dalam Alquran, bahkan beberapa kali disandingkan dengan perintah tauhid, dasar dari agama kita. Seperti pada surat Al-Isra di bawah ini :

"Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.

Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "eh" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia"

(QS. Al Israa' 17:23)

Bahkan berkata "ah" saja tidak boleh. Maka sudah jelas setan akan dengan gigih  menggoda kita supaya melakukan larangan Allah seperti biasanya kan?

Apalagi : Ridha Allah terletak pada ridha kedua orang tua dan murka-Nya terletak pada kemurkaan keduanya.

Apa semudah itu setan rela membuat Allah meridhai kita...

Setan akan selalu menggoda manusia supaya kita melalaikan perintah Allah dan melaksanakan apa yang dilarang Allah. Tidak terbatas menggoda kita supaya malas sholat, malas tilawah, malas belajar, rajin berbuat dosa, tetapi juga durhaka kepada orang tua baik secara nyata maupun secara haluuuusss sekali...

Kesimpulan saya : Berbakti kepada orang tua itu berat. Ujian besar untuk setiap anak manusia. Berbakti kepada orang tua adalah perintah langsung Allah, maka setan pasti menggoda kita dengan sangat gigih. Dan HANYA ORANG HEBAT DAN KUAT YANG BISA MENJALANKAN SESUATU YANG BERAT.

Tuesday 12 December 2017

Harapanku untuk (Aku)

Akhir-akhir ini saya merasa tersesat. Bukan dalam arti sebenarnya. Saya merasa tersesat dalam pikiran. Tak bisa dipungkiri, akhir-akhir ini karena efek media sosial terlalu banyak informasi yang masuk ke otak kita. Baik yang benar maupun hoax, baik yang kita butuhkan maupun tidak, dan jujur saya itu membuat saya tersesat. Saya jadi lupa apa tujuan saya, saya jadi lupa apa yang seharusnya menjadi fokus saya, bahkan saya jadi lebih sibuk ngepoin orang lain daripada fokus pada perbaikan diri dan keluarga saya. Fatal banget ya.

Bukan salah media sosialnya sih sebetulnya, kesalahan ada pada saya yang tidak mempersiapkan diri untuk era banjir informasi seperti saat ini. Seharusnya seperti berbelanja, saya hanya mengambil barang-barang yang saya butuhkan, bukan mengambil semua barang sehingga bahkan saya bingung barang ini akan saya apakan sampai pada akhirnya barang itu rusak dan membusuk di rumah saya. Seperti itulah kira-kira gambarannya. Informasi jaman now layaknya barang-barang di rak-rak swalayan yang bisa kita ambil gratis! Sayangnya tidak ada keterangan jelas mana barang yang asli dan mana barang yang palsu. Seperti itu.


Banjir informasi ini memang seperti banjir sungguhan. Agar susah melawan arusnya. Dan ketika kita ikut arusnya, justru kita akan tersesat. Duh, bingung ya..

Karena itulah, salah satu resolusi saya lagi adalah ingin kembali fokus pada hal-hal yang bermanfaat untuk saya dan keluarga saya ke depan. Fokus kepada hal-hal yang membahagiakan untuk menjadi keluarga yang bahagia.

Kalau dirinci mungkin seperti ini :

1. Mempunyai jadwal kegiatan rutin harian
2. Mempunyai rencana mengisi hari libur yang bermanfaat
3. Mempunyai kegiatan rutin yang bermanfaat dan berpahala
4. Mengkonsumsi makanan yang sehat, halal dan secukupnya
5. Memiliki peta target hidup untuk masing-masing anggota keluarga.

Menghindarkan diri dari :

1. Baper atas omongan/postingan orang lain
2. Tersinggung yang tidak perlu
3. Memikirkan yang tidak perlu

Mungkin seperti itu saja dulu secara garis besarnya, untuk lebih rinci nanti aku rinci lagi,,hahaha

#odop
#resolusi
 

Monday 11 December 2017

Harapanku untuk (Inas)

Selamat sore kawan-kawan sekalian. Sudah lama sekali rasanya saya tidak menuliskan sesuatu di blog ini. Selain karena kesibukan yang menyita pikiran saya, saya juga sedang bermasalah dengan kuota. Haha.

Saat ini kita sudah bertemu dengan bulan Desember, artinya sebentar lagi kita akan menghadapi pergantian tahun. Banyak di antara kita yang dengan rajinnya membuat resolusi tahunan untuk dilaksanakan di tahun yang akan datang. Dan saya bukan salah satunya. Eheum.

Namun namanya harapan, semua orang pasti punya. Saya yakin itu. Walaupun ada yang benar-benar meletakkannya sebagai harapan, ada pula yang hanya menganggapnya sebagai angan-angan yang tidak akan tercapai. Saya adalah golongan yang sering menjadikan harapan sebagai tujuan ketika mengerjakan sesuatu, ahey!

Menghadapi anak yang sebentar lagi menginjak usia 7 tahun, saya memiliki harapan besar untuk dia. Pertama karena dia adalah anak saya yang sebentar lagi memasuki usia sekolah dan usia wajib belajar sholat, yang kedua adalah karena anak saya sedikit memiliki "keistimewaan" yaitu dia tidak mau bersekolah di sekolah formal. Sudah banyak sekolah yang kami datangi dan dia tetap tidak mau memilih satupun karena memang dia tidak mau "bersekolah". Sebetulnya, itu hanya salah satu "keistimewaan" kecil dari anak pertama saya, karena memang sejak lahir, anak pertama saya berbeda dengan anak-anak lain :)
Tidak perlu panjang saya ceritakan karena memang semua anak itu pada dasarnya istimewa, hanya tingkatan keistimewaannya saja yang berbeda. Seringnya ketika saya bercerita, maka akan banyak orang yang membandingkan anak saya dengan anak-anak mereka masing-masing.dan ujung-ujungnya "menyamakan" kondisi mereka yang jelas-jelas tidak sama. Begitu. Jangan baper ya bu ibu...hehehehe

Harapan saya untuk tahun depan adalah, bahwa kami sudah memiliki kesepakatan tentang "sekolah" untuk anak pertama saya. Apakah akan sekolah formal, cyber school, atau home schooling. Saya hanya ingin anak saya menjadikan belajar adalah kegiatan yang menyenangkan dan tanpa paksaan. Karena belajar adalah proses seumur hidup manusia. Itu.

Saat ini saya sedang dalam proses "mencari" bentuk sekolah yang tepat untuk anak saya, dan saya sudah bersiap untuk mengambil cuti panjang jika diperlukan untuk mendampinginya "memulai sekolah". Semoga Allah memberikan kemudahan jalan untuk kami. Amiiiin

Oke, ini salah satu harapan saya untuk tahun 2018. Harapan berikutnya? Nanti saya post di postingan yang berbeda, karena temanya beda,,hahahahahaha.

Monday 4 December 2017

Menggantungkan Kebahagiaan Pada Tempatnya

Dalam kehidupan sehari-hari, sering saya dapati banyak sekali orang yang memberikan kunci kebahagiaannya kepada orang lain. Apa maksudnya? Maksudnya adalah orang ini berbahagia bergantung kepada apa yang orang lain katakan, apa yang orang lain lakukan dan apa yang orang lain perhatikan. Contohnya, ada orang yang berbahagia ketika dia banyak dipuji orang, ada orang yang berbahagia ketika dia banyak diperhatikan orang. Bagaimana jika orang lain tidak lagi memperhatikan dan memuji dia, hilang sudah kebahagiannya. Rapuh sekali.

Itulah sebabnya, jangan menggantungkan kebahagiaan kepada orang lain. Bisakah? Bisa. Jadilah dirimu sendiri, banyak-banyak bersyukur, jadilah orang baik dan mendekatlah kepada Allah.

Saya suka membaca buku-bukunya Diana Rikasari. Tahu Diana Rikasari? Iya, seniman yang lebih sering dibilang aneh alih-alih keren. Gaya berpakaiannya yang tidak seperti orang pada umumnya, pilihan warna yang sesuka hati membuat dia tampak sangat nyentrik. Saya mempelajari sesuatu dari Diana. Dia berbahagia dengan dirinya sendiri. Tak peduli orang lain menilai dia bagaimana, dia berbahagia dengan dirinya dan apa yang dia miliki.

Beberapa waktu yang lalu saya ingin membeli jilbab daily. Saya memilih-milih warna sampai saya sendiri pusing mau beli yang warna apa. Akhirnya saya memutuskan memesan warna coklat polisi dan pink gonjreng (yang mana warna pink gonjreng ini ditentang banyak kawan karena warnanya yang gonjreng). Begitu pesanan datang, ternyata kawan saya yang menjual jilbab tersebut membawa banyak jilbab berbagai warna. Saya jadi bingung lagi, karena ketika melihat warna coklat polisi, yang menurut kawan-kawan saya itu adalah warna yang netral dan normal (yang karena itu pula saya memesannya), saya menjadi tidak tertarik. Saya jadi tertarik dengan warna pink gonjreng dan hijau gonjreng. Tentu saja kawan-kawan saya mendukung saya memilih jilbab dengan warna-warna yang tampak normal. Tetapi akhirnya sama memutuskan untuk membeli jilbab yang berwarna pink gonjreng dan hijau gonjreng.

Besoknya saya tak sabar untuk segera mengenakan jilbab-jilbab itu. Saya senang sekali mengenakan jilbab yang warna pink gonjreng, begitu juga saya juga sangat senang mengenakan jilbab yang warna hijau gonjreng. Dan saya bertanya dalam hati, inikah yang disebut bahagia yang sederhana? Yaitu, hanya dengan memilih apa yang kita sukai, bukan yang menurut orang lain bagus lah yang membuat kita bahagia. Seperti pemilihan baju Diana. Hahahaha.

Dan akhirnya beberapa minggu yang lalu, ketika suami saya mengajak saya ke optik untuk membuat kacamata baru (karena yang lama sudah copot dan patah), saya mantap memilih frame kacamata warna pink doff yang lebih mirip kaca mata Pou (permainan di smartphone), daripada kacamata ibu-ibu yang bisa menaikkan sedikit "derajat kecerdasan" jika dipandang dengan mata. Hahahaha.

Akibatnya? Bahkan menunggu kacamata itu jadi saja sudah membuat saya bahagia.

Akibatnya lagi? Saya tak habis-habis diejek oleh kawan-kawan di kantor. Hahahahaha. Tapi saya tidak peduli. Saya tidak sedikit pun merugikan mereka dan yang terpenting saya bahagia dengan pilihan saya.

Jadi kawan-kawan, gantungkanlah kebahagiaanmu pada tempatnya. Jangan sampai salah tempat menggantung.