Thursday 20 February 2014

Untuk Orang Tua yang Sayang Anak

Penting,,,

Untuk orang tua yang sayang sama anak-anaknya, tolong sisihkan waktu sebentar untuk membaca tulisan ini. Oke, memang panjang, tapi beneran penting. Demi anak cucu kita.

http://islamisfun.wordpress.com/2014/02/16/karena-bu-risma/

Ayo dibaca,,,tolong....

Cara Membuat Gula Singkong :)

Hasil gugling, akhirnya nemu beberapa cara membuat gula singkong,,,apa aja?

Mau yang gampang apa yang susah?

Yang gampang dulu ya....

Oke catet :

Langkah pembuatannya sebagai berikut:

1. Singkong dipotong dari batangnya.
2. Dikupas kulitnya dan dicuci.
3. Singkong dihancurkan dengan parutan. Penghancuran ini bertujuan mendapatkan sari pati dari singkong.
4. Hasil parutan dicampur dengan air kemudian disaring menggunakan kain penyaring sehingga air yang bercampur pati akan lolos.
5. Air perasan yang diperoleh tersebut lalu disaring kembali agar benar-benar bersih. Hasil peyaringan kedua ini adalah susu pati.
6. Susu pati yang didapat kemudian dimasak selama beberapa jam setelah itu tambahkan sedikit HCl.
7. Hasil pemasakan susu pati merupakan cairan dengan rasa sangat manis yang terjadi akibat perubahan sebagian besar pati menjadi gula (glukosa).
Catatan: Saat pemasakan, dijaga agar kandungan air dalam susu pati tidak terlalu banyak yang hilang (menguap). (Sumber: Pikiran Rakyat)

Sumber : http://kliping-pengetahuan.blogspot.com/2002/11/membuat-gula-dari-singkong.html

Atau yang susah, yaitu ini :

Cara Membuat Gula Asal Singkong
1. Larutkan tepung tapioka dalam air dengan perbandingan 1 : 3.
2. Panaskan pada suhu 95-105oC dan tambahkan 0,8 ml enzim alfa-amilase per kg pati sembari diaduk rata.
3. Setelah 60 menit pemanasan, dinginkan larutan hingga bersuhu 60oC. Untuk memastikan pati telah terdegradasi menjadi dekstrin dilakukan uji iod dengan meneteskan iodium pada sampel bahan. Bila iod berwarna cokelat berarti semua pati sudah terdegradasi menjadi dekstrin. Kemudian tambahkan 0,8 ml enzim amiloglukosidase per kg pati. Diamkan larutan selama 76 jam hingga menjadi cairan gula.
4. Tambahkan 0,5-1% arang aktif per kg pati ke dalam gula cair untuk mengikat, menggumpalkan, dan mengendapkan pati, serta menghentikan aktivitas enzim. Saring larutan untuk memisahkan gula cair dari karbon aktif dan kotoran sehingga tingkat kejernihan gula 93%. Bila belum tercapai, ulangi kembali pemucatan dan penyaringan.
5. Alirkan gula cair melalui tabung berisi penukar ion untuk mengikat dan memisahkan ion-ion logam dan kotoran dalam gula cair. Tabung penukar ion terdiri atas 3 tabung masing-masing berisi resin kation, kation, dan campuran anion dan kation.
6. Evaporasikan gula ke dalam evaporator untuk meningkatkan kadar kemurnian gula. Proses evaporasi berlangsung pada suhu 50-60oC. Sekarang pemanis asal singkong itu pun siap pakai.***
Sumber: http://www.trubus-online.co.id/mod.php?

Trus gue mau bikin gituh? Ya kagaklaaaaaaaahhh,,,mending langsung beli aja di Bu Lala :P

Gula Fruktosa (tambahan Inpoh)

Gula Fruktosa dari Singkong

7 08 2008 oleh: Slamet Soeseno

Tulisan ini pernah diterbitkan dalam Majalah Bulanan Intisari No. 235 Edisi Februari 1983, Hal.126-136


Agaknya pabrik biang gula Sodiumsiklamat di Indonesia kita dikasihi oleh Tuhan. Sebab, meskipun sudah di-SOS-kan bahaya penggunaan siklamat itu dalam INTISARI Oktober 1982 yang lalu, namun masyarakat kita tenang-tenang saja memakainya terus, dalam industri makanan dan minuman. Kita tidak ribut tentang gula siklamat, tetapi ramai membicarakan gula singkong.
Belum sampai jajaran pabrik gula singkong seperti yang dibangun di Gondanglegi, Malang, itu diberi kesempatan giling, menghasilkan gula fruktosa, (yang lebih aman daripada Sodiumsiklamat), di antara para pembicara sudah ada yang khawatir kalau-kalau pabrik semacam itu akan sulit mendapat enzim pengolah, yang terpaksa diimpor terus-menerus. Apa tidak akan jadi mahal gulanya, nanti?
Perlu langkah gerak cepat, untuk mendirikan pabrik enzim ini, di bumi Indonesia kita sendiri.

Mengapa fruktosa?

Tetapi mengapa kita ingin beralih dari pabrik tebu ke pabrik singkong?
Harga gula pasir dari tebu(yang Rp 520,00 sekilo di gudang BULOG itu), terus terang terlalu mahal untuk dipakai sebagai pemanis minuman, yang harus bisa dijual lagi dengan harga miring. Mahalnya bukan karena pabrik tebu kita tidak mampu, melainkan karena produksi gula pasir tahunan tidak seimbang dengan kebutuhan yang terus-menerus membengkak, sejalan dengan laju pertambahan penduduk yang meledak! Dari negara eksportir gula pasir terkemuka, sebelum Perang Dunia II dulu, (kepadatan penduduk baru 40 juta jiwa), Indonesia kini (kepadatan penduduk 150 juta lebih), sudah berubah menjadi importir gula terkemuka, di dunia.
Jadi pendek kata, perlu gula jenis lain, tetapi jangan siklamat!
Tidak hanya di Indonesia saja kebutuhan gula nasional merepotkan orang. Sebab, gula sakarosa yang biasa mereka makan, (diambil dari tebu Saccharum officinarum dan bit gula Beta vulgaris forma altissima), hanya musiman adanya. Di luar musim, pabrik mereka menganggur. Itu jelas menambah biaya eksploitasi mubazir, yang(enak saja) dibebankan pada para konsumen. Sudah lama juga mereka mencari akal, bagaimana memperoleh pemanis dari sumber lain sebagai pengganti sakarosa. Maka, ditemukanlah kemudian teknik pembuatan gula fruktosa dari amylum.

Masih berkerabat

Tetapi omong-omong, kita ini sudah ceplas-ceplos berbicara tentang fruktosa, sakarosa, dan amylum, tanpa menjelaskan apa yang dimaksud dengan istilah itu. Amylum atau zat pati seperti yang terkandung dalam nasi putih, kalau cukup lama kita kunyah, makin lama makin terasa manis, karena pengaruh enzim ptyalin dari air liur. Mengapa?
Diteorikan oleh para kimiawan organik bahwa amylum itu tersusun dari berjuta-juta molekul monosakarida yang merangkai menjadi rantai panjang polisakarida. Polisakarida amylum ibarat satu keluarga besar terdiri dari ayah-ibu, anak-anak dan cucu-cucu yang sedang reuni, bergandengan tangan berlapis-lapis sedang ‘foto-bersama’. Kalau kemudian diurak-urak lagi (diurai oleh kerja enzim) sampai bercerai-berai, maka pecahan polisakarida amylum itu dapat ditemukan kembali sebagai kumpulan molekul yang lebih kecil. Bisa berupa disakarida maltosa (kalau yang mencerai-beraikan itu enzim ptyalin dalam mulut kita), bisa juga monoskarida glukosa (kalau yang menggempur itu enzim amylase).
Berkat gagasan Jacobus van ‘t Hoff (pemenang hadiah Nobel untuk Kimia tahun 1901) dan Le Bel tentang struktur molekul stereometris, yang dituangkan dalam buku mereka Le chimie dans l’espace, tahun 1875 dulu, kita kini mewarisi gambaran bagaimana struktur molekul monosakarida itu, yang disempurnakan oleh Haworth dari Inggris tahun 1927. Ia berupa rantai 6 atom Karbon yang melingkar dalam ruang, bersama 6 atom Oksigen, yang di sana sini mengandung 12 atom Hidrogen.
Dalam praktek, monosakarida yang sedang kita bicarakan ini sudah lama kita kenal sebagai glukosa, yang dirumuskan dalam buku pelajaran kimia SMTA sebagai C6H12O6. sejenis gula sederhana, yang manisnya tidak seberapa. Glukosa terdapat antara lain dalam darah kita. Kalau kebanyakan, kita malah dikatakan ‘sakit gula’ sampai dicium semut.
Molekul glukosa ini kadang-kadang juga bertingkah. Ia berubah susunan menjadi molekul fruktosa, sehingga sifatnya pun berbeda. Padahal atom-atom yang menyusunnya tetap sama, berupa Karbon, Hidrogen dan Oksigen. Peristiwanya boleh diibiratkan sebagai pergantian kelamin anak laki-laki menjadi gadis. Masih manusia juga. Hanya susunannya yang berbeda.
Perubahan struktur molekul dari glukosa menjadi fruktosa, tanpa kehilangan atau ketambahan apa-apa ini, yang di kalangan kimiawan dikenal sebagai stereoisomeri, malah kebetulan bagi umat manusia. Soalnya, fruktosa itu terasa lebih manis daripada glukosa.
Fruktosa sebenarnya juga sudah lama kita kenal dan temukan secara alami dengan rumus C6H12O6 juga, dalam sari buah, sayuran manis, dan madu lebah.
Kalau glukosa dan fruktosa menggabung menjadi satu molekul disakarida (ibarat dua muda-mudi yang berumah tangga, menempuh hidup baru), maka yang diperoleh bukan disakarida maltosa seperti yang kita rasakan setelah mengunyah nasi putih itu, melainkan semacam gula lain lagi, yang dikenal sebagai sakarosa seperti yang dihasilkan dari sari tebu dan bit gula.
Ketika orang menemukan teknik pembuatan gula sakarosa untuk pertama kalinya dulu, umat manusia seluruh dunia bergembira, karena bisa membeli gula pasir yang lebih manis dan lebih praktis, daripada gula glukosa (dari sari buah) dan fruktosa (dari madu). Tetapi kini, gula sakarosa sudah tidak murah lagi, dan kita mau kembali ke zaman pemakaian fruktosa lagi.

Lebih alamiah

Jepang sudah sejak tahun 1970 menghasilkan gula fruktosa, meskipun bukan dari singkong, tetapi jagung. Di Indonesia, setelah studi yang mendebarkan, Departemen Pertanian baru belakangan ini (tahun 1982) memelopori pendirian pabrik gula singkong di Jawa Timur dan Sumatra Selatan, dengan harapan bisa sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui. Yaitu mengatasi kekurangan gula (dari tebu), menolong para petani singkong (untuk memasarkan hasil karyanya ke alamat yang lebih mantap), dan sekalian juga menyaingi pabrik biang gula Sodiumsiklamat.
Lucunya, fruktosa kalau sudah berbentuk larutan, sukar mengkristal. Ia tidak membentuk endapan jelek seperti gula tebu dalam sari buah sirsak botolan bila dimasukkan ke lemari es. Karena itu, fruktosa juga lebih dsukai sebagai pemanis yang tetap menarik bagusnya, bagi industri jelly (selai) dan sari buah botolan.
Rasa gula fruktosa itu juga lebih alamiah seperti manisnya buah segar asli, sampai ia diberi nama fruktosa, yang lebih kurang berarti ‘gula buah-buahan’. Ha! Bukankah ini cocok seperti pucuk dicinta ulam tiba bagi industri minuman botolan air jeruk buatan, sari anggur sintetik, dan lain-lain sari buah ester, yang sebenarnya tidak diambil dari buah, melainkan dari lemari obat-obatan?

Dari pati ke lem kanji

Tetapi bagaimana mereka merubah pati singkong menjadi gula fruktosa?
Kalau dipikir-pikir, prosesnya tidak serumit proses pembuatan gula pasir dari tebu. Tetapi juga tidak begitu sederhana sebagaimana digampang-gampangkan oleh para penganjurnya. Ubi kayu yang sudah dicuci bersih, dirajang dan digiling dengan mesin, sambil diguyur air, agar dapat diambil sari patinya. Pabrik yang harus mengolah singkong berton-ton sehari, tidak sempat mengupas kulit ubi itu satu per satu. Lagipula, air yang mengandung pati itu toh bisa melayang sendiri di bagian atas nanti, dan dapat dialirkan ke bak lain, sementara kulit, ampas, dan kotoran mengendap dengan sendirinya di bagian bawah bak penampung hasil rajangan.
Air berpati ini setelah berkumpul cukup banyak perlu diencerkan lagi, sampai diperoleh larutan yang kepekatan tepungnya tetap mantap, sekitar 35%. Larutan seencer inilah yang kemudian dicampur dengan asam chlorida encer dulu agar suasananya asam (pH antara 6,0 dan 6,5), sehingga mudah diionisasikan. Jadi lebih cepat buyar berantakan. Kemudian dibubuhkan enzim alphaamylase (diperdagangkan sebagai Termamyl) sambil dipanaskan. Dalam suasana asam panas inilah, zat pati yang ada diubah menjadi dextrin semua, hanya dalam beberapa jam saja.
Dextrin ialah zat pati juga, tetapi berbentuk lain, yang sebenarnya sudah lama kita kenal sebagai lem kanji. Di Amerika, dextrin jagung waxy corn, Zea mays ceratina, digunakan secara besar-besaran untuk merekat perangko, meterai tempel dan amplop surat udara. Tetapi di Jepang, dextring dari jagung manis, Zea mays saccharata, digunakan untuk membuat gula fruktosa. Lem-lem cukup dibuat secara sintetik dari bahan plastik saja.

Seperti kunci

Bagaimana cara kerja enzim itu dalam proses bongkar-membongkar molekul zat pati menjadi molekul dextrin itu?
Umat manusia baru mengetahui seluk beluk enzim, ketika para kimiawan pada tahun 1800 mempelajari reaksi kimia akibat sesuatu zat yang dihasilkan oleh ragi Saccharomyces. Lalu mereka menggunakan istilah Yunani, enzyme, (yang berarti ragi), bagi zat itu. Ragi (Saccharomyces) yang menghasilkan ragi (enzim)!
Pada penelitian itu ditarik kesimpulan, bahwa cairan yang diperas dari ragi bir Saccharomyces carlsbergensis berlaku seperti anak kunci pembuka proses, terbuat dari rangkaian atom yang terus menerus bergerak.
Untuk memahami kesimpulan ini, marilah membayangkan bahwa sebutir sel ragi dapat kita gilas sampai gepeng, dengan penggilas adonan kue. Andaikata kita mampu menggilas sampai beberapa juta kali, niscaya butiran sel ragi yang semula sebesar titik pada huruf I ini sudah pipih seperti kain plastik panjang lebar, yang meliputi seluruh Lapangan Banteng. Ha! Sekarang barulah tampak bahwa ragi itu tersusun dari atom dan elektron ribuan juta billiun banyaknya. Semuanya tidak diam seperti besi tua, tetapi bergerak terus-menerus, selama hayat dikandung badan. Tiap elektron saling balapan mengelilingi proton pada masing-masing atom. Atom yang membentuk molekul berputar-putar seperti lager roda gila. Gigi roda yang satu pas betul masuk ke gigi roda yang lain.
Anehnya, roda-roda (molekul) dalam ragi itu kalau dilepas dari hubungan organisasi ‘sel ragi’nya, ternyata masih tetap saja berputar terus, dan bisa menjalankan gigi-gigi roda (molekul) lain. Bagian yang sudah lepas dari ragi ini berlalu seperti anak kunci. Definisi kunci ialah: sebuah benda yang membuka (memulai mendorong) sesuatu proses, tetapi ia sendiri tidak terlibat dalam perkara.
Kalau kita menggunakan kunci kontak untuk menjalankan Jaguar Amerika tua misalnya, Mercy Tiger temanten, atau VW Kodok dinas, maka setelah selesai, kunci itu masih bisa kita kantongi lagi. Ia tidak peot, walaupun sebelumnya menjadi alat untuk menjalankan berbagai roda dan gigi mesin Kodok dinas.
Enzim amylase pun, mula-mula bergabung dengan molekul besar zat pati yang akan dibongkar itu, seperti anak kunci bergabung dengan kunci rumah hantu, dengan jalan masuk ke dalam kubang kunci. Lemudian, karena kunci itu diputar dan gigi-giginya pas betul dengan gigi-gigi induk kunci pada pintu, maka pintu itu bisa dibuka. Tetapi kunci amylase tidak perlu kita putar. Ia bisa berputar sendiri, kemudian memecah ikatan molekul besar zat pati yang telah dimasukinya. Sesudah molekul zat pati pecah dan molekul pecahannya berantakan, kunci amylase itu lepas lagi sendiri, meninggalkan lubang dari molekul pertama tadi. Ia pindah ke molekul zat pati lain yang belum berantakan. Begitu seterusnya, ia keluar-masuk lubang kunci berulang-ulang, puluhan juta kali.
Karena enzim kadang-kadang disebut juga ferment, maka proses yang digerakkan oleh anak kunci bergigi itu tidak lazim disebut enzimasi, melainkan fermentasi.

Dari lem ke gula

Dextrin hasil fermentasi kemudian dipompa ke dalam tangki penggulaan untuk diragikan lebih lanjut menjadi gula glukosa. Sekarang proses dilanjutkan oleh enzim amylo-glukosidase, dengan dibubuhi asam chlorida (agar pH cairan turun menjadi 4,5), kemudian dipanaskan pula. Dalam waktu 2 hari, hasilnya dapat dipungut, berupa sirop gula glukosa. Tetapi sudah tentu masih kotor. Karena itu, semuanya dipompa ke tempat penyaringan, berisi karbon (arang) aktif, yang daya penyerapan kotorannya kuat sekali. Bagi Indonesia kita, karbon aktif ini juga barang impor. Tetapi sudah lama juga diangan-angankan untuk tidak mengimpor karbon aktif semacam itu lagi, kalau kita berhasil membuatnya sendiri dari tempurung kelapa yang dibuang percuma berlimpah-limpah sebagai limbah.
Sirop glukosa yang sudah bersih kemudian dipompa ke tempat penguapan vacuum, yang terus-menerus dipanaskan, agar kadar airnya berkurang. Tetapi sambil dipompa melalui sejumlah pipa penyalur yang lumayan panjangnya, sirop itu dibubuhi enzim isomerase (diperdagangkan sebagai sweetzyme) yang mampu merubah glukosa menjadi fruktosa.
Sebagai tersirat dalam uraian di muka, zat yang bahannya sama, tetapi struktur moleklulnya menyimpang (seperti glukosa dan fruktosa itu), dikenal sebagai stere-isomer. Karena itu, proses pengubahan glukosa menjadi fruktosa ini pun dikenal dalam pabrik sebagai isomerisasi.
Tetapi jelas tidak mungkin (dan juga tidak perlu) glukosa yang ada diisomerkan semua menjadi fruktosa. Mendekati separuhnya saja juga sudah manis bukan main, dan sudah dapat dijual dengan harga pantas. Hasil akhir isomerisasi itu berupa sirop yang mengandung fruktosa 42%, glukosa 52% dan rupa-rupa pecahan polisakarida 6%.

Dipisah lebih pekat

Sirop fruktosa yang meninggalkan tempat pengering sudah makin kental, dengan kadar air hanaya tinggal 29%. Untuk mempertinggi lagi kadar fruktosanya, perlu dilakukan pemisahan fruktosa itu dari bagiannya yang lain, secara chromatografik. Suatu teknik pemisahan, berdasarkan kecenderungan zat yang akan dipisah itu untuk diserap secara berbeda0beda cepatnya. Sirop fruktosa campuran itu dialirkan melalui bahan penyerap dalam tabung pemisah, bersama cairan penggentor. Karena kecenderungan fruktosa untuk diserap itu memang berbeda dengan glukosa, maka iapun bergerak dalam tabung itu dengan kecepatan yang berbeda pula dengan glukosa. Fruktosa yang keluar ditampung dalam tempat tersendiri, terpisah dari tempat glukosa.
Dalam praktek, sudah tentu tidak mungkin diperoleh hasil pemisahan yang seratus persen berupa fruktosa murni. Atau seratus persen glukosa murni. Yang terjadi selalu fruktosa (sebagian besar) bercampur dengan glukosa sedikit. Atau glukosa (sebagian besar) bercampur fruktosa sedikit. Hasil pemisahan chromatografik ini sudah bagus, kalau tersusun dari fruktosa 55%, glukosa 42% dan p[olisakarida rupa-rupa lainnya 3%.

Biar cair saja

Karena harga gula kristal kering dari fruktosa itu lebih mahal daripada gula cairnya, sudah tentu para pabrik penghasil minuman ringan (seperti teh botol, sari kopi, sirop buah), bahan makanan kalengan (seperti buah-buahan), es krim dan susu kental manis, lebih murah membeli gula cair ini daripada gula berbentuk pasir. Itulah sebabnya, gula dari singkong dikatakan lebih murah daripada gula pasir tebu. Dengan pengertian, bahwa ia dibeli dalam bentuk cair.
Untuk keperluan memaniskan minuman dan makanan kalengan memang kurang cerdik kalau memakai gula pasir. Sebab, gula itu kemudian toh dicairkan lagi. Lalu untuk apa membayar ongkos pengkristalan gula dalam pabrik?
Bagi mereka yang cerdik ini, gula cair singkong dijual dalam kemasan kaleng ukuran 25 kg atau 30 kg, dan container yang lebih besar, yang mampu memuat gula 1 ton atau 4 ton.
Untuk keperluan rumah tangga kita? Misalnya para ibu yang membuat kue catering atau arisan keluarga besar? Gula cair dalam kemasan besar itu memang masih perlu dikemasi lagi dalam botol kemasan yang lebih kecil. Oleh siapa? Jelas bukan oleh pabrik gula singkong lagi, melainkan industri sekunder yang bertindak sebagai pengecer, seperti para pabri repacking. Sodiumsiklamat, misalnya.
Daripada mengepak gula siklamat, bagaimana kalau kita banting setir mengemasi gula fruktosa cair dari singkong ini? Jelas lebih sehat, berkalori, dan tidak diomeli oleh anak cucu.

Sumber : http://tunjungsari.wordpress.com/2008/08/07/gula-fruktosa-dari-singkong/

Gula Fruktosa by Bu Lala

Hape gue mati dari semalam. Tadi pagi, begitu nyampe kantor, yang gue lakukan adalah mengecharge hape. Lima menit kemudian menyalakan hape, barangkali ada yang sms mau minta duit atau minta pulsa
*mungkin mama yang minta pulsa. :P

Ternyata ada 2 sms masuk, yang pertama SMS dari Telkomsel tercinta, yang memberitahukan bahwa masa aktif gue tinggal 2 hari lagi. Yeah..makasih pemberitahuannya ya..dan terima kasih sudah tidak lagi menawari gue untuk masuk tipi :)

SMS kedua datang dari salah satu petugas cleaning service di kantor gue, sebut saja namanya Bu Lala :). Begini bunyi SMS-nya :

[Produk terbaru Era Jaya]
GULA SEHAT :
Gula cair fruktosa dengan kualitas terbaik.
Terbuat dr hidrolisis pati SINGKONG berbentuk CAIR.

Tidak bikin batuk. Tingkat kemanisan 1:1 dengan gula pasir yang terbuat dari tebu.

Sangat rendah kalori, lebih aman, lebih sehat dan mudah diserap tubuh.

Harga : Rp xxxxxx / btl. (catatan gue : harga sengaja disamarkan :P)
(hub : Bu Lala, di : 0858xxxxxxxx)

Begitulah, kemudian gue bales :

Ibu, ke ruangan saya donk, mau liat gulanya, hehehehe

Dan berselang 5 menit kemudian Bu Lala dateng membawa sebotol cairan yang berwarna agak kekuningan (mirip minyak goreng). Botolnya mirip botol aqua yang 300 ml, tanpa label.

Trus gue nanya kok ga ada labelnya?

Kemudian Bu Lala bercerita, ini gula, adalah produk dari keponakannya yang lulusan farmasi (lupa gue kampus mana). Ponakannya ini juga memiliki usaha ternak Sapi Bali, dan bisa menerima pesanan daging sapi (sabar, temanya belok ke bisnis daging dulu sebentar). Bisa 2 kg, 3 kg, dsb. Usaha sampingan keponakannya itu adalah memproduksi gula cair ini.

Gula ini katanya terbuat dari singkong, dan nanti ampas singkongnya itu dipakai buat makannya si Sapi Bali itu. Karena ini produk baru, blum dibuatin label. Demikian.

Karena teman2 seruangan gue pengen ngicipin, ya sudah, kami beli sebotol itu dulu buat ici-icip. Tadinya Bu Lala ga mau ngejual yang sebotol itu, soalnya itu contoh katanya, dan kalau mau ngicip besok dibawain. hahahaha...

Tapi setelah gue beberapa teman ngicip, akhirnya banyak yang pesan, Yey!!!

Gimana rasanya? Kata gue rasanya manis (ya eyalaaaaaaaahhh, namanya juga gula) kayak madu. Ga ada bau singkong or rasa singkong,,ya kayak gula aja gitu,,,

Ya gue taunya itu aja sih, untuk kajian gizinya gue belom tau,,apakah benar rendah kalori, bagus buat kesehatan atau ndak, gue belum tau.

See yaaa


Infused Water dan Shaker (Teu Nyambung...)

Entah dari jaman kapan si infused water itu ngetren di kalangan pengguna instagram, tapi air inpusan itu baru aja ngetren di kalangan ibu-ibu laktasi di kantorku, yeah "kemane aje?" hehehehe,,

Ceritanya, di populasi ruang laktasi, memang gaya hidup itu menular antara ibu2 satu ke ibu2 yang lainnya. Hari senin, salah satu pelanggan ruang laktasi sebut saja Eka, membeli shaker Tupperware dari aku. Yes, shaker, buat bikin shake :)

Nah, hari Rabu kemaren, si Eka membawa shaker tersebut yang sudah berisi air dengan potongan beberapa benda. Benda apakah itu?
Kalo diamat2in isinya itu terdiri dari potongan lemon, potongan mentimun dan potongan nanas.

Kemudian mulailah dibahas tentang isi shaker Eka itu, yang ternyata di dunia nyata dan maya sama-sama disebut dengan infused water. Kalo kata Eka, "Minum infused water biar badan jadi seger". Terdengar seperti iklan kunyit asam ya :D

Dan akhirnya ada dua butir ibu2 laktasi lain yang tiba2 memesan shaker Tupperware juga dengan alasan mau bikin infused water kayak Eka.

Pertanyaannya, apakah untuk membuat sebiji infused water itu diperlukan proses shaking menggunakan shaker? Secara kasat mata jawabannya adalah jelas : TIDAK. :P

Kemudian gue gugling donk, apakah makhluk yang bernama infused water itu. Gue baca-baca dan baca lagi. Akhirnya gue menyimpulkan beberapa hal tentang infused water sebagai berikut (diceritakan kembali dengan bahasa sendiri ) :

1. Infused water adalah air putih yang telah diisi dengan potongan beberapa jenis buah dan atau rempah-rempah kemudian ditutup dan didiamkan selama minimal 2 jam di dalam kulkas. Dipercaya dengan perendaman minimal 2 jam, zat-zat dari isian tersebut akan tercampur dengan air.

2. Konon katanya, air yang sudah menjadi infused water itu akan menjadi beraroma sesuai isiannya, dan memiliki siratan (ceilahhh,,,) rasa seuai isiannya ituh. Dan rasanya lebih segar. Ada yang bilang seger banget,, atau seger bingit :P

3. Syahdan katanya, selain lebih segar, si infused water ini juga mengandung khasiat yang mandraguna! Apakah khasiatnya? Itu tergantung buah atau rempah apa yang menjadi isiannya.
Misalnya : infused water dengan isi lemon, mentimun dan nanas, akan memberikan efek menjaga nafsu makan, membakar lemak dan daya tahan tubuh. Tsaaaahhh...mirip tolak angin :)
Mau efek yang lain? Silahkan gugling, nanti akan banyak variasi yang bisa dipilih mana efek yang kita inginkan.

4. Pertanyaan : Apakah semua jenis buah bisa dijadikan isian? Menurut hasil gugling gue, tidak semua buah bisa dijadikan isian infused water ini. Buah yang bisa dijadikan isian infused water adalah buah yang memiliki sifat acid.
Gue ga tau juga sih maksudnya apa, hahahahaha. Tapi bisa gue kasih tau kalo buah yang biasa dipakai buat isian adalah : lemon, jeruk nipis, nanas, mentimun, apel, jeruk (sunkist, dkk), mangga, apel, pear, strawberry, kiwi, belimbing.

5. Selain buah, biasanya ada juga yang menambahkan rempah-rempah. Rempah apa sajakah itu? Ketumbar? Lada?
Oh bukan,,,haha. Rempah disini biasanya rempah2 yang biasa ada di resep2 masak chef2 di TV, yang kalo orang di kampung mah malah ga tau,,haha. Contohnya : daun rosemary (apaan tuh?), daun mint, batang kayu manis dan jahe.
Pan kalo kita masak di dapur taunya daun kemangi, kol gepeng, ketumbar, lada, lengkuas yak? :D

6. Katanya, infused water ini, yang sudah direndam minimal 2 jam ini, kalo sudah diminum dan habis, dapat diisi ulang. Tapiii,,,apabila kondisi buahnya sudah tidak segar lagi, maka harus dibuang, tidak boleh diisi ulang lagi.

7. Apakah buah bekasan isiannya itu boleh dimakan? Errrrr gue ga tau benernya, ada yang bilang dibuang ada yang bilang dimakan. Kalo kata gue, itu buahnya siapa? Kalo punya ente ya makan-makan aja, asal jangan punya orang lain yang lo makan,, :D

8. Dari beberapa referensi, gue dapat membuat satu kesimpulan juga bahwa, tren infused water ini muncul sebagai salah satu bentuk upaya agar kita-kita ini cukup minum air putih. Dengan adanya infused water ini, diharapkan orang-orang jadi bersemangat untuk minum. Sebab kebanyakan orang suka malas minum, padahal dehidrasi itu efeknya banyak ya, bisa mengurangi kecantikan kulit juga *cieeeeee

9. Satu yang paling penting. Penampilan infused water ini memang rata-rata MENARIK! FRESH! SEGERRRRRR.... (kalo mau bukti, gugling aja image-nya si infused water ini, insyaallah jadi kepengen bikin juga). :P

Dan dengan pengetahuan tersebut, gue yakin seyakin-yakinnya kalo infused water itu sama sekali tidak membutuhkan shaker untuk membuatnya.

Dan hari ini gue ditagih sama dua ekor ibu2 laktasi itu, sebut saja Iva dan Tya, katanya,  "Mana shaker gue? Gue kan mau bikin infused water besok".

Tiba-tiba saat gue ngetik ini gue ngerasa haus,,,apakah itu artinya gue butuh beli shaker juga buat bikin infused water? *wink!

Terlihat bahwa, kebutuhan akan shaker dan infused water itu hanya karena iklan semata....dan memang gaya hidup emak-emak itu menular ke emak-emak yang laiinnya...

>,<