Saturday 11 November 2017

Memikirkan Pendidikan Anak

Semenjak anak saya mogok sekolah beberapa tahun yang lalu, yang dimulai tepat di saat dia seharusnya pindah ke TK B, saya mulai melirik homeschooling. Sekolah rumah, dimana sekolahnya adalah rumahnya dan rumahnya adalah sekolahnya. Dia bisa belajar apa saja, dimana saja, dengan siapa saja dan kapan saja. Saya sangat tertarik dengan konsep ini, karena sesungguhnya memang kita bisa belajar apa saja, kapan saja, dimana saja dan dengan siapa saja, itu sudah sunatullah sejak manusia dilahirkan sampai nantinya manusia meninggal dunia.

Namun, setelah melihat beberapa keluarga yang menerapkan HS, saya menjadi sedikit minder. Karena mereka terlihat sangat keren. Orang tua yang terlibat terlihat sangat kreatif, inovatif dan mumpuni, anak-anaknya terlihat sangat cerdas dan berprestasi. Saya jadi otomatis mempertanyakan kapasitas saya sendiri, bisa nggak saya seperti itu? Bisa nggak saya membuat anak-anak saya mengoptimalkan kemampuannya. Saya menjadi sedikit takut.

Saya mulai memikirkan gambaran besarnya. Okelah, untuk materi pelajaran tingkat SD, saya yakin saya dan ayahnya bisa mengajari mereka karena saya yakin kami menguasai dengan baik materi tingkat dasar itu, namun untuk tingkat SMP dan selanjutnya, saya masih sangat ragu. Oleh karena itu, saya menyusun rencana dimana HS hanya akan kami terapkan kepada mereka sampai mereka mendapatkan ijazah setingkat SD-nya dan selanjutnya berlanjut ke sekolah formal. Bisa seperti itu? Dari yang saya baca, hal tersebut sangat mungkin, karena jika kita melaksanakan HS dengan metode schooling at home, maka sebenarnya yang mereka pelajari adalah mirip seperti sekolah formal pada umumnya, hanya saja berbeda metode dan untuk ijazahnya, mereka dapat mengikuti ujian kesetaraan seperti paket A, B dan C.

Tantangan kedua adalah, ternyata mengajarkan sesuatu kepada anak adalah bukan perkara mudah. Anak-anak seperti spons kering yang menyerap air, cepat sekali mereka belajar, namun...dibalik semua itu, anak-anak juga seperti balon udara, imajinasinya terlampau tinggi jika dibandingkan dengan orang tua, sehingga ketika kita mencoba mengajarkan sesuatu, imajinasi mereka bisa membuat bahan ajar kita melenceng sangat jauh ketika disampaikan. Itu bukan hal yang buruk, karena secara alamiah anak-anak memang akan mempertanyakan segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Tuntun mereka ke jalan yang benar, itu kuncinya.

Tantangan berikutnya adalah lingkungan. Lingkungan kita masih terkungkung pada pola pikir bahwa untuk mendapatkan ilmu, anak-anak harus sekolah. Dan sekolah di pikiran mereka adalah sekolah formal saja titik. Itu yang membuat keluarga HS harus memiliki tekad yang kuat, prinsip yang kokoh dan hati yang sabar. Mulai dari menjelaskan konsep pendidikan, konsep HS sampai bahkan pada pola pikir masyarakat dan semuanya. Tak jarang masyarakat akan menilai "aneh" kepada keluarga HS, karena dianggap membiarkan anak-anaknya tanpa pendidikan, atau dianggap kikir karena tidak mau mengeluarkan uang untuk menyekolahkan anak-anaknya. Well, dan masyarakat itu termasuk juga adalah keluarga besar, kakek nenek mereka pasti akan bertanya-tanya ketika cucu-cucu kesayangan mereka tidak bersekolah seperti anak-anak lain. Siapkan mental dan jawaban yang kuat untuk ini. Buat saya, ini masih menjadi PR besar, karena orang tua kami adalah kepala sekolah. Hiks. Dan payahnya, saya yang masih memiliki rasa takut tidak bisa mengajarkan yang terbaik buat anak-anak saya, malah jadi labil antara tetap melaksanakan HS atau memaksa anak saya untuk masuk sekolah formal.

Secara pemikiran, saya lebih cenderung tetap melaksanakan HS untuk anak saya, hal-hal negatif tentang HS yang sering dipertanyakan masyarakat tidak menjadi masalah buat saya dan menurut saya hal-hal itu bisa dijawab dengan mudah oleh HS, bahkan malah menjadikannya nilai tambah. Misalnya tentang pergaulan anak HS yang dianggap kurang pergaulan atau kuper. Well, satu satunya kekurangan anak HS dalam pergaulan adalah bahwa mereka tidak memiliki teman sekolah. Dan menurut saya itu tidak menjadi masalah, karena sebetulnya dalam dunia nyata pun, pergaulan itu tidak memandang usia, pekerjaan, suku dan ras, agama bahkan dimana dia bersekolah. Di masyarakat kita diharuskan bisa bergaul dengan manusia dari semua latar belakang dan usia, ya kan? Jadi HS menurut saya masih lebih bagus. Yang membuat saya ragu hanyalah kapasitas saya, dan sepertinya saya bisa jika saya mau berusaha.

Ada saran?