Wednesday 4 March 2015

Sudah Tertakar dan Tidak Akan Tertukar

Rezeki.

Semua orang setiap saat mengharapkan rezeki. Setiap hari orang berlalu lalang mengejar rezeki. Setiap detik orang memikirkan rezeki, padahal rezeki itu sudah tertakar dan tidak akan mungkin tertukar.
gambar dari sini

Beberapa kali saya membaca tulisan mengenai rezeki yang sangat menyentil. Silahkan dibaca sendiri :
1. Rezeki Sudah Tertakar, Tak Akan Pernah Tertukar
2. Substitusi Nikmat
3. Hutang Rezeki

Intinya adalah bahwa tugas kita di dunia ini sehubungan dengan rezeki adalah berusaha, berdoa dan bertawakal kepada Allah, kemudian bersyukur. Masalah apa yang akan kita dapatkan, itu mutlak urusan Allah SWT.

Tulisan pertama membuat saya melek, bahwa banyak sekali hal yang harus saya syukuri, bahwa rezeki yang saya terima adalah pemberian Allah. Allah Maha Tahu apa yang kita butuhkan, dan Dia mengatur dengan indahnya.

Tulisan kedua dan ketiga membuat saya sering introspeksi diri ketika saya terlena sehingga menjadikan saya malas dan kufur.

"Bila Anda digaji Rp. 10.000.000 oleh perusahaan, namun Anda bekerja seperti digaji Rp. 20.000.000, maka Allah akan membayar lebihnya dengan kesehatan, karir, keluarga sejahtera, anak yang cerdas, dan semisalnya.
Namun bila Anda bekerjanya seperti orang bergaji Rp. 5.000.000, maka Allah pun akan menuntut sisanya dengan penyakit, kesusahan, hutang, masalah, dan semisalnya.
Jadi bekerjalah maksimal. Ikhlaskanlah.Yakinlah dengan aturan-Nya. Lalu perhatikan yang akan Allah buat untuk kejayaanmu"

"Janganlah mata kita terlalu cepat silau ketika melihat orang lain mendapat sebuah kenikmatan. Sebab kita tidak tahu nikmat lain apa yang Allah Subhanahu Wa Ta’ala cabut darinya –agar tak muncul rasa iri dan dengki.
Jangan pula diri terlalu cepat merasakan kecewa ketika ada sebuah nikmat yang tercabut dari diri kita. Sebab kita kadang tidak menyadari, nikmat lain apa yang Allah Subhanahu Wa Ta’ala berikan sebagai penggantinya –agar terhindar dari kufur akan nikmat yang diberi.
Namun nikmat terbesar yang tidak bisa diganti dengan apa pun adalah, kita mentauhidkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala"
 (dari tulisan kedua)

Pada tulisan ketiga lebih ditekankan bahwa apa yang kita peroleh itu seharusnya adalah yang merupakan hasil kerja keras kita. Ketika kita menikmati hal yang seharusnya bukan hak kita, maka itu akan menjadi hutang rezeki kita.

"Dan, seperti segala macam hutang lainnya, Hutang harus dibayar..
Mirisnya, bila rezeki asli kita (hasil dari usaha maupun kerja keras kita sendiri) tidaklah cukup untuk ‘membayar’ hutang rezeki yang kita miliki, maka ada hal yang lebih berharga daripada uang, yang akan diambil dari kita untuk membayarnya..
Hal itu bisa berupa kesehatan diri kita (sakit berat datang silih berganti), keluarga kita (perselingkuhan, anak jadi nakal dan perceraian), nama baik kita (dihukum penjara dan terkenal di media), sahabat kita (ditinggal teman-teman yang baik, dikerubungi teman jahat) dll..
Pertanyaannya, seberapa banyak hutang rezeki Kita?
Sudahkah Kita membayarnya? (dengan sedekah, mengembalikan kepada mereka yang berhak, bekerja keras tanpa mengharap ikut memakan rezeki orang tua dll)"
 (dari tulisan ketiga)

So, sudahkah kita berusaha yang terbaik hari ini?
Sudahkah kita mensyukuri segala nikmat kita hari ini?

Paling Benar

Terkadang, kita merasa bahwa kita adalah orang yang paling benar sejagat raya. Orang lain selalu saja ada salahnya, sedangkan kita ... memang sih ada salah, tapi kan ada alasannya sehingga kita menjadi tidak salah.

Terkadang, kita merasa bahwa kita adalah orang yang paling baik sedunia. Orang lain baik sih, tapi itu juga palingan karena mereka ingin terlihat baik aja, sedangkan kita kan emang aslinya orang baik. Uhuk.

Terkadang kita merasa bahwa kita adalah orang yang paling miskin sesemesta. Apapun yang kita punya rasanya masih kurang, apalagi jika dibandingkan dengan si A, si B, si C dan teman-teman kita yang lain. Kitalah yang paling menderita dan kekurangan.

Terkadang juga, kita merasa menjadi orang yang paling pintar sealam raya. Apapun yang orang katakan di sosial media, kita punya alasan untuk menyalahkannya dan kita punya pendapat kita yang lebih yahuudd...

Ada yang salah yang saya katakan?
gambar dari sini

Memang, kita sering banget menempatkan diri sebagai komentator. Paham atau nggak paham masalahnya yang penting komentar.

Pernahkah teman-teman merasa menyesal setelah melontarkan sebuah komentar karena baru sadar kalo komentar yang barusan keluar adalah salah?

Pernahkah teman-teman merasa menyesal setelah menempelkan label tertentu kepada seseorang yang ternyata label yang kamu berikan itu jelas-jelas salah?

Saya sering. Dan ketika saya menyesal, terkadang saya gengsi untuk meminta maaf. And then?

And then marilah kita sering-sering introspeksi diri, sering-sering muhasabah, apa yang kita lihat belum tentu seperti yang kita sangkakan, apa yang kita tau belum tentu itu yang benar.

Sama-sama berucap, berucaplah yang baik. Sama-sama berfikir, berfikirlah yang baik.
Semoga Allah selalu melindungi kita semua. Amiiin.