Lima hari ini saya pulang kampung. Pulang ke sebuah desa kecil di ujung Kabupaten Ngawi, perbatasan Ngawi-Madiun, dimana Ngawi sendiri adalah perbatasan Jawa Tengah-Jawa Timur.
Di kampung saya ini, 99% penduduknya hidup dari hasil bertani, entah itu dari sawah milik sendiri, ataupun dari buruh tani di sawah orang lain. 1% lagi bekerja sebagai guru.
Adik saya cerita, panen kali ini kita nggak panen padi, soalnya sawahnya ditanami kacang hijau. Lha gimana, sawah di kanan kiri sawah kami semua ditanami kacang hijau, kalo kita ngeyel menanam padi sendiri ya sama aja ngajak ribut tetangga, katanya.
Kacang hijau butuh panas dan sedikit air, sedangkan padi butuh banyak air, gitu alasannya. Kalo kita ngeyel nanem padi di tengah-tengah, potensinya besar untuk merusak tanaman tetangga, lanjutnya.
Saya manggut-manggut. Dalam keseharian mereka, petani ini belajar bermuamalah, belajar bertoleransi dengan tetangganya, padahal halnya besar lho, tentang tanaman yg menjadi penghasilan mereka. Dan tidak ada yang ribut perkara kacang hijau versus padi ini, padahal makanan pokok disini apa? Ya nasi! Kacang hijau mayoritas ya bakal dijual, pun kalau panen gini harganya ya murah rata-rata per kilogram nggak sampai 15.000 rupiah.
Saya pun belajar lagi. Dalam hidup, tak selalu penting yang berharga dan berkilau, sesederhana apapun, kedamaian itu menentramkan. Lha mereka juga percaya, kalau mereka kesusahan, tetangga mereka akan dengan senang hati membantu, dan di sini, hal itu terbukti. Adem ya dengernya.
Segini dulu ya, buanyak yang bisa diceritakan dan diambil hikmah dari lima hari saya di kampung. Tapi karena nulisnya pake handphone, sinyal susah dan rebutan hape sama anak, secuil ini cukup untuk hari ini.. :)
Salam.