Thursday 20 February 2014

Gula Fruktosa (tambahan Inpoh)

Gula Fruktosa dari Singkong

7 08 2008 oleh: Slamet Soeseno

Tulisan ini pernah diterbitkan dalam Majalah Bulanan Intisari No. 235 Edisi Februari 1983, Hal.126-136


Agaknya pabrik biang gula Sodiumsiklamat di Indonesia kita dikasihi oleh Tuhan. Sebab, meskipun sudah di-SOS-kan bahaya penggunaan siklamat itu dalam INTISARI Oktober 1982 yang lalu, namun masyarakat kita tenang-tenang saja memakainya terus, dalam industri makanan dan minuman. Kita tidak ribut tentang gula siklamat, tetapi ramai membicarakan gula singkong.
Belum sampai jajaran pabrik gula singkong seperti yang dibangun di Gondanglegi, Malang, itu diberi kesempatan giling, menghasilkan gula fruktosa, (yang lebih aman daripada Sodiumsiklamat), di antara para pembicara sudah ada yang khawatir kalau-kalau pabrik semacam itu akan sulit mendapat enzim pengolah, yang terpaksa diimpor terus-menerus. Apa tidak akan jadi mahal gulanya, nanti?
Perlu langkah gerak cepat, untuk mendirikan pabrik enzim ini, di bumi Indonesia kita sendiri.

Mengapa fruktosa?

Tetapi mengapa kita ingin beralih dari pabrik tebu ke pabrik singkong?
Harga gula pasir dari tebu(yang Rp 520,00 sekilo di gudang BULOG itu), terus terang terlalu mahal untuk dipakai sebagai pemanis minuman, yang harus bisa dijual lagi dengan harga miring. Mahalnya bukan karena pabrik tebu kita tidak mampu, melainkan karena produksi gula pasir tahunan tidak seimbang dengan kebutuhan yang terus-menerus membengkak, sejalan dengan laju pertambahan penduduk yang meledak! Dari negara eksportir gula pasir terkemuka, sebelum Perang Dunia II dulu, (kepadatan penduduk baru 40 juta jiwa), Indonesia kini (kepadatan penduduk 150 juta lebih), sudah berubah menjadi importir gula terkemuka, di dunia.
Jadi pendek kata, perlu gula jenis lain, tetapi jangan siklamat!
Tidak hanya di Indonesia saja kebutuhan gula nasional merepotkan orang. Sebab, gula sakarosa yang biasa mereka makan, (diambil dari tebu Saccharum officinarum dan bit gula Beta vulgaris forma altissima), hanya musiman adanya. Di luar musim, pabrik mereka menganggur. Itu jelas menambah biaya eksploitasi mubazir, yang(enak saja) dibebankan pada para konsumen. Sudah lama juga mereka mencari akal, bagaimana memperoleh pemanis dari sumber lain sebagai pengganti sakarosa. Maka, ditemukanlah kemudian teknik pembuatan gula fruktosa dari amylum.

Masih berkerabat

Tetapi omong-omong, kita ini sudah ceplas-ceplos berbicara tentang fruktosa, sakarosa, dan amylum, tanpa menjelaskan apa yang dimaksud dengan istilah itu. Amylum atau zat pati seperti yang terkandung dalam nasi putih, kalau cukup lama kita kunyah, makin lama makin terasa manis, karena pengaruh enzim ptyalin dari air liur. Mengapa?
Diteorikan oleh para kimiawan organik bahwa amylum itu tersusun dari berjuta-juta molekul monosakarida yang merangkai menjadi rantai panjang polisakarida. Polisakarida amylum ibarat satu keluarga besar terdiri dari ayah-ibu, anak-anak dan cucu-cucu yang sedang reuni, bergandengan tangan berlapis-lapis sedang ‘foto-bersama’. Kalau kemudian diurak-urak lagi (diurai oleh kerja enzim) sampai bercerai-berai, maka pecahan polisakarida amylum itu dapat ditemukan kembali sebagai kumpulan molekul yang lebih kecil. Bisa berupa disakarida maltosa (kalau yang mencerai-beraikan itu enzim ptyalin dalam mulut kita), bisa juga monoskarida glukosa (kalau yang menggempur itu enzim amylase).
Berkat gagasan Jacobus van ‘t Hoff (pemenang hadiah Nobel untuk Kimia tahun 1901) dan Le Bel tentang struktur molekul stereometris, yang dituangkan dalam buku mereka Le chimie dans l’espace, tahun 1875 dulu, kita kini mewarisi gambaran bagaimana struktur molekul monosakarida itu, yang disempurnakan oleh Haworth dari Inggris tahun 1927. Ia berupa rantai 6 atom Karbon yang melingkar dalam ruang, bersama 6 atom Oksigen, yang di sana sini mengandung 12 atom Hidrogen.
Dalam praktek, monosakarida yang sedang kita bicarakan ini sudah lama kita kenal sebagai glukosa, yang dirumuskan dalam buku pelajaran kimia SMTA sebagai C6H12O6. sejenis gula sederhana, yang manisnya tidak seberapa. Glukosa terdapat antara lain dalam darah kita. Kalau kebanyakan, kita malah dikatakan ‘sakit gula’ sampai dicium semut.
Molekul glukosa ini kadang-kadang juga bertingkah. Ia berubah susunan menjadi molekul fruktosa, sehingga sifatnya pun berbeda. Padahal atom-atom yang menyusunnya tetap sama, berupa Karbon, Hidrogen dan Oksigen. Peristiwanya boleh diibiratkan sebagai pergantian kelamin anak laki-laki menjadi gadis. Masih manusia juga. Hanya susunannya yang berbeda.
Perubahan struktur molekul dari glukosa menjadi fruktosa, tanpa kehilangan atau ketambahan apa-apa ini, yang di kalangan kimiawan dikenal sebagai stereoisomeri, malah kebetulan bagi umat manusia. Soalnya, fruktosa itu terasa lebih manis daripada glukosa.
Fruktosa sebenarnya juga sudah lama kita kenal dan temukan secara alami dengan rumus C6H12O6 juga, dalam sari buah, sayuran manis, dan madu lebah.
Kalau glukosa dan fruktosa menggabung menjadi satu molekul disakarida (ibarat dua muda-mudi yang berumah tangga, menempuh hidup baru), maka yang diperoleh bukan disakarida maltosa seperti yang kita rasakan setelah mengunyah nasi putih itu, melainkan semacam gula lain lagi, yang dikenal sebagai sakarosa seperti yang dihasilkan dari sari tebu dan bit gula.
Ketika orang menemukan teknik pembuatan gula sakarosa untuk pertama kalinya dulu, umat manusia seluruh dunia bergembira, karena bisa membeli gula pasir yang lebih manis dan lebih praktis, daripada gula glukosa (dari sari buah) dan fruktosa (dari madu). Tetapi kini, gula sakarosa sudah tidak murah lagi, dan kita mau kembali ke zaman pemakaian fruktosa lagi.

Lebih alamiah

Jepang sudah sejak tahun 1970 menghasilkan gula fruktosa, meskipun bukan dari singkong, tetapi jagung. Di Indonesia, setelah studi yang mendebarkan, Departemen Pertanian baru belakangan ini (tahun 1982) memelopori pendirian pabrik gula singkong di Jawa Timur dan Sumatra Selatan, dengan harapan bisa sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui. Yaitu mengatasi kekurangan gula (dari tebu), menolong para petani singkong (untuk memasarkan hasil karyanya ke alamat yang lebih mantap), dan sekalian juga menyaingi pabrik biang gula Sodiumsiklamat.
Lucunya, fruktosa kalau sudah berbentuk larutan, sukar mengkristal. Ia tidak membentuk endapan jelek seperti gula tebu dalam sari buah sirsak botolan bila dimasukkan ke lemari es. Karena itu, fruktosa juga lebih dsukai sebagai pemanis yang tetap menarik bagusnya, bagi industri jelly (selai) dan sari buah botolan.
Rasa gula fruktosa itu juga lebih alamiah seperti manisnya buah segar asli, sampai ia diberi nama fruktosa, yang lebih kurang berarti ‘gula buah-buahan’. Ha! Bukankah ini cocok seperti pucuk dicinta ulam tiba bagi industri minuman botolan air jeruk buatan, sari anggur sintetik, dan lain-lain sari buah ester, yang sebenarnya tidak diambil dari buah, melainkan dari lemari obat-obatan?

Dari pati ke lem kanji

Tetapi bagaimana mereka merubah pati singkong menjadi gula fruktosa?
Kalau dipikir-pikir, prosesnya tidak serumit proses pembuatan gula pasir dari tebu. Tetapi juga tidak begitu sederhana sebagaimana digampang-gampangkan oleh para penganjurnya. Ubi kayu yang sudah dicuci bersih, dirajang dan digiling dengan mesin, sambil diguyur air, agar dapat diambil sari patinya. Pabrik yang harus mengolah singkong berton-ton sehari, tidak sempat mengupas kulit ubi itu satu per satu. Lagipula, air yang mengandung pati itu toh bisa melayang sendiri di bagian atas nanti, dan dapat dialirkan ke bak lain, sementara kulit, ampas, dan kotoran mengendap dengan sendirinya di bagian bawah bak penampung hasil rajangan.
Air berpati ini setelah berkumpul cukup banyak perlu diencerkan lagi, sampai diperoleh larutan yang kepekatan tepungnya tetap mantap, sekitar 35%. Larutan seencer inilah yang kemudian dicampur dengan asam chlorida encer dulu agar suasananya asam (pH antara 6,0 dan 6,5), sehingga mudah diionisasikan. Jadi lebih cepat buyar berantakan. Kemudian dibubuhkan enzim alphaamylase (diperdagangkan sebagai Termamyl) sambil dipanaskan. Dalam suasana asam panas inilah, zat pati yang ada diubah menjadi dextrin semua, hanya dalam beberapa jam saja.
Dextrin ialah zat pati juga, tetapi berbentuk lain, yang sebenarnya sudah lama kita kenal sebagai lem kanji. Di Amerika, dextrin jagung waxy corn, Zea mays ceratina, digunakan secara besar-besaran untuk merekat perangko, meterai tempel dan amplop surat udara. Tetapi di Jepang, dextring dari jagung manis, Zea mays saccharata, digunakan untuk membuat gula fruktosa. Lem-lem cukup dibuat secara sintetik dari bahan plastik saja.

Seperti kunci

Bagaimana cara kerja enzim itu dalam proses bongkar-membongkar molekul zat pati menjadi molekul dextrin itu?
Umat manusia baru mengetahui seluk beluk enzim, ketika para kimiawan pada tahun 1800 mempelajari reaksi kimia akibat sesuatu zat yang dihasilkan oleh ragi Saccharomyces. Lalu mereka menggunakan istilah Yunani, enzyme, (yang berarti ragi), bagi zat itu. Ragi (Saccharomyces) yang menghasilkan ragi (enzim)!
Pada penelitian itu ditarik kesimpulan, bahwa cairan yang diperas dari ragi bir Saccharomyces carlsbergensis berlaku seperti anak kunci pembuka proses, terbuat dari rangkaian atom yang terus menerus bergerak.
Untuk memahami kesimpulan ini, marilah membayangkan bahwa sebutir sel ragi dapat kita gilas sampai gepeng, dengan penggilas adonan kue. Andaikata kita mampu menggilas sampai beberapa juta kali, niscaya butiran sel ragi yang semula sebesar titik pada huruf I ini sudah pipih seperti kain plastik panjang lebar, yang meliputi seluruh Lapangan Banteng. Ha! Sekarang barulah tampak bahwa ragi itu tersusun dari atom dan elektron ribuan juta billiun banyaknya. Semuanya tidak diam seperti besi tua, tetapi bergerak terus-menerus, selama hayat dikandung badan. Tiap elektron saling balapan mengelilingi proton pada masing-masing atom. Atom yang membentuk molekul berputar-putar seperti lager roda gila. Gigi roda yang satu pas betul masuk ke gigi roda yang lain.
Anehnya, roda-roda (molekul) dalam ragi itu kalau dilepas dari hubungan organisasi ‘sel ragi’nya, ternyata masih tetap saja berputar terus, dan bisa menjalankan gigi-gigi roda (molekul) lain. Bagian yang sudah lepas dari ragi ini berlalu seperti anak kunci. Definisi kunci ialah: sebuah benda yang membuka (memulai mendorong) sesuatu proses, tetapi ia sendiri tidak terlibat dalam perkara.
Kalau kita menggunakan kunci kontak untuk menjalankan Jaguar Amerika tua misalnya, Mercy Tiger temanten, atau VW Kodok dinas, maka setelah selesai, kunci itu masih bisa kita kantongi lagi. Ia tidak peot, walaupun sebelumnya menjadi alat untuk menjalankan berbagai roda dan gigi mesin Kodok dinas.
Enzim amylase pun, mula-mula bergabung dengan molekul besar zat pati yang akan dibongkar itu, seperti anak kunci bergabung dengan kunci rumah hantu, dengan jalan masuk ke dalam kubang kunci. Lemudian, karena kunci itu diputar dan gigi-giginya pas betul dengan gigi-gigi induk kunci pada pintu, maka pintu itu bisa dibuka. Tetapi kunci amylase tidak perlu kita putar. Ia bisa berputar sendiri, kemudian memecah ikatan molekul besar zat pati yang telah dimasukinya. Sesudah molekul zat pati pecah dan molekul pecahannya berantakan, kunci amylase itu lepas lagi sendiri, meninggalkan lubang dari molekul pertama tadi. Ia pindah ke molekul zat pati lain yang belum berantakan. Begitu seterusnya, ia keluar-masuk lubang kunci berulang-ulang, puluhan juta kali.
Karena enzim kadang-kadang disebut juga ferment, maka proses yang digerakkan oleh anak kunci bergigi itu tidak lazim disebut enzimasi, melainkan fermentasi.

Dari lem ke gula

Dextrin hasil fermentasi kemudian dipompa ke dalam tangki penggulaan untuk diragikan lebih lanjut menjadi gula glukosa. Sekarang proses dilanjutkan oleh enzim amylo-glukosidase, dengan dibubuhi asam chlorida (agar pH cairan turun menjadi 4,5), kemudian dipanaskan pula. Dalam waktu 2 hari, hasilnya dapat dipungut, berupa sirop gula glukosa. Tetapi sudah tentu masih kotor. Karena itu, semuanya dipompa ke tempat penyaringan, berisi karbon (arang) aktif, yang daya penyerapan kotorannya kuat sekali. Bagi Indonesia kita, karbon aktif ini juga barang impor. Tetapi sudah lama juga diangan-angankan untuk tidak mengimpor karbon aktif semacam itu lagi, kalau kita berhasil membuatnya sendiri dari tempurung kelapa yang dibuang percuma berlimpah-limpah sebagai limbah.
Sirop glukosa yang sudah bersih kemudian dipompa ke tempat penguapan vacuum, yang terus-menerus dipanaskan, agar kadar airnya berkurang. Tetapi sambil dipompa melalui sejumlah pipa penyalur yang lumayan panjangnya, sirop itu dibubuhi enzim isomerase (diperdagangkan sebagai sweetzyme) yang mampu merubah glukosa menjadi fruktosa.
Sebagai tersirat dalam uraian di muka, zat yang bahannya sama, tetapi struktur moleklulnya menyimpang (seperti glukosa dan fruktosa itu), dikenal sebagai stere-isomer. Karena itu, proses pengubahan glukosa menjadi fruktosa ini pun dikenal dalam pabrik sebagai isomerisasi.
Tetapi jelas tidak mungkin (dan juga tidak perlu) glukosa yang ada diisomerkan semua menjadi fruktosa. Mendekati separuhnya saja juga sudah manis bukan main, dan sudah dapat dijual dengan harga pantas. Hasil akhir isomerisasi itu berupa sirop yang mengandung fruktosa 42%, glukosa 52% dan rupa-rupa pecahan polisakarida 6%.

Dipisah lebih pekat

Sirop fruktosa yang meninggalkan tempat pengering sudah makin kental, dengan kadar air hanaya tinggal 29%. Untuk mempertinggi lagi kadar fruktosanya, perlu dilakukan pemisahan fruktosa itu dari bagiannya yang lain, secara chromatografik. Suatu teknik pemisahan, berdasarkan kecenderungan zat yang akan dipisah itu untuk diserap secara berbeda0beda cepatnya. Sirop fruktosa campuran itu dialirkan melalui bahan penyerap dalam tabung pemisah, bersama cairan penggentor. Karena kecenderungan fruktosa untuk diserap itu memang berbeda dengan glukosa, maka iapun bergerak dalam tabung itu dengan kecepatan yang berbeda pula dengan glukosa. Fruktosa yang keluar ditampung dalam tempat tersendiri, terpisah dari tempat glukosa.
Dalam praktek, sudah tentu tidak mungkin diperoleh hasil pemisahan yang seratus persen berupa fruktosa murni. Atau seratus persen glukosa murni. Yang terjadi selalu fruktosa (sebagian besar) bercampur dengan glukosa sedikit. Atau glukosa (sebagian besar) bercampur fruktosa sedikit. Hasil pemisahan chromatografik ini sudah bagus, kalau tersusun dari fruktosa 55%, glukosa 42% dan p[olisakarida rupa-rupa lainnya 3%.

Biar cair saja

Karena harga gula kristal kering dari fruktosa itu lebih mahal daripada gula cairnya, sudah tentu para pabrik penghasil minuman ringan (seperti teh botol, sari kopi, sirop buah), bahan makanan kalengan (seperti buah-buahan), es krim dan susu kental manis, lebih murah membeli gula cair ini daripada gula berbentuk pasir. Itulah sebabnya, gula dari singkong dikatakan lebih murah daripada gula pasir tebu. Dengan pengertian, bahwa ia dibeli dalam bentuk cair.
Untuk keperluan memaniskan minuman dan makanan kalengan memang kurang cerdik kalau memakai gula pasir. Sebab, gula itu kemudian toh dicairkan lagi. Lalu untuk apa membayar ongkos pengkristalan gula dalam pabrik?
Bagi mereka yang cerdik ini, gula cair singkong dijual dalam kemasan kaleng ukuran 25 kg atau 30 kg, dan container yang lebih besar, yang mampu memuat gula 1 ton atau 4 ton.
Untuk keperluan rumah tangga kita? Misalnya para ibu yang membuat kue catering atau arisan keluarga besar? Gula cair dalam kemasan besar itu memang masih perlu dikemasi lagi dalam botol kemasan yang lebih kecil. Oleh siapa? Jelas bukan oleh pabrik gula singkong lagi, melainkan industri sekunder yang bertindak sebagai pengecer, seperti para pabri repacking. Sodiumsiklamat, misalnya.
Daripada mengepak gula siklamat, bagaimana kalau kita banting setir mengemasi gula fruktosa cair dari singkong ini? Jelas lebih sehat, berkalori, dan tidak diomeli oleh anak cucu.

Sumber : http://tunjungsari.wordpress.com/2008/08/07/gula-fruktosa-dari-singkong/

No comments:

Post a Comment