Wednesday, 11 October 2017

Kisah Pendek

Kisah ini seharusnya bermula ketika dia harus dirawat di sebuah rumah sakit dan berakhir ketika dia harus segera dimakamkan.

Tetapi, ini adalah kisah tentang akhir hidup seorang manusia yang semasa hidupnya sampai dia meninggalkan dunia ini tanpa berhubungan dengan perusahaan besar profitable yang berhubungan dengan kita hampir di setiap detik hidup kita sekarang.

Sebutlah sebuah nama Jiyah. Dia lahir dan besar di sebuah rumah kecil bertiang dan berdinding bambu dengan atap genteng gerabah. Dia tumbuh besar bersama ayah dan ibunya, kemudian menjadi yatim piatu dan kemudian menikah. Bertahun-tahun kemudian suaminya meninggal tanpa sebab dan dia hidup dengan seorang anak yang diangkatnya dari salah satu saudaranya. Namanya Ratmi. Jiyah yang sudah tua, dan Ratmi yang ternyata mengalami keterbelakangan mental hidup berdua di rumah kecil yang bertiang dan berdinding bambu dengan atap genteng gerabah. Setiap pagi mereka akan berjalan membawa dua bakul untuk berdagang di sebuah TK 100 meter dari rumahnya. Lebih tepatnya, nenek Jiyah berdagang dan Ratmi mengintip anak-anak TK belajar. Bertahun-tahun seperti itu dan nyatanya tidak ada satupun doa sehari-hari ataupun nyanyian anak-anak TK itu bisa dihafal Ratmi.

Begitulah sampai suatu malam yang dingin, hujan turun begitu lebatnya. Menjelang dini hari, air mulai masuk ke rumah-rumah penduduk. Banjir datang. Warga yang merasa banjir datang mulai bangun dan keluar rumah melihat sekeliling. Seorang bapak-bapak tua bersorban bersama kedua anak perempuannya berjalan menembus banjir menuju rumah nenek Jiyah. Tak jauh di belakang mereka, istri lelaki itu berjalan mengikuti sambil menjinjing kain batik supaya tidak basah.

Pintu rumah itu terbuka, di dalamnya air sudah mulai masuk di pinggir-pinggir. Ratmi tidur beralaskan tikar di pojokan bersama dua ekor ayam peliharaannya. Nenek Jiyah tidur tepat di tengah-tengah rumah itu beralaskan tikar. Nafasnya satu satu terlihat sangat pelan dan berat.

"Ayo, bantu bapak angkat mbah Jiyah," kata lelaki itu. Kedua anaknya membantu ayahnya memindahkan nenek Jiyah ke bale bambu yang ada di rumah itu.

Tak lama setelah itu, tiba-tiba nenek Jiyah tersengal-sengal, lalu diam. Dia sudah berangkat menghadap Tuhannya.

"Ratmi, nenekmu sudah meninggal."

Ratmi hanya melihat dari tikarnya. Sama sekali tidak ada ekspresi yang terlihat di wajahnya. Tidak sedih, tidak juga kaget atau bingung. Ratmi hanya diam.

No comments:

Post a Comment