Di kampungku, seperti halnya di kampung-kampung di Pulau Jawa, masih banyak mitos dan kepercayaan terkait orang yang meninggal dunia. Banyak mitos, banyak juga adat istiadatnya, salah satunya adalah selamatan pada hari-hari tertentu setelah salah satu kerabat meninggal dunia. Selamatan dilaksanakan pada hari ke-3, hari ke-7, hari ke-40, hari ke-100, setahun, dua tahun dan terakhir hari ke-1000. Terhitung 7 kali selamatan di luar tahlilan dari hari pertama sampai hari ke-7.
Selamatan biasanya dilaksanakan malam hari, dimulai habis maghrib atau habis isya dan berlangsung kurang lebih satu jam. Acara dimulai dengan tahlil, wirid lalu diakhiri dengan doa-doa.
Untuk selamatan itu, keluarga almarhum/almarhumah harus menyiapkan binat (uang), rokok, minuman, makanan yg disantap di tempat (snack dan makan besar), serta makanan yg dibawa pulang (berkat). Lumayan menguras kantong karena biasanya jumlah undangan kurang lebih sekitar 100 orang. Contoh susunan menunya adalah, begitu datang tamu disuguh rokok dan minuman komplit dengan snack beberapa macam. Setelah acara selesai, tamu disuguh makan besar misalnya nasi soto ayam. Setelah itu tamu diberikan "berkat" untuk dibawa pulang. Berkat itu sendiri terdiri dari nasi, lauk pauk komplit (mie goreng, oseng buncis, tempe orek, ayam goreng, tahu kecap, serundeng, rempeyek/krupuk, kue apem, telur rebus/ceplok).
Mereka berkeyakinan, pada hari-hari itu almarhum/almarhumah pulang kembali ke rumahnya. Harapannya, ketika dia pulang, keluarganya sedang mengingat dia, sedang bersedekah untuk dia. Dan nanti setelah 1000 hari, dia akan benar-benar kembali ke alam selanjutnya.
Beberapa kali saya pulang kampung untuk menghadiri acara-acara selamatan ini. Dan saya takjub, bukan hanya acaranya itu sendiri yg menjadi adat, bahkan sajiannya juga! Wow. Suatu saat saya lihat keluarga almarhum menyiapkan es untuk tamu, alasannya karena adat disana begitu, tamu disuguhi es! Hahaha.
Satu hal yang membuat saya sedih dengan adat ini adalah ketika keluarga almarhum kondisi ekonominya kurang. Mereka sampai menjual harta benda demi menyelenggarakan selamatan yang berkali-kali itu. Mereka memaksa mengadakan "sesuai adat" demi menghindari omongan dan perlakuan aneh tetangganya. Miris, bro, sis.
Di satu sisi, adat ini bagus untuk mempererat silaturahmi, membudayakan sedekah dan mengingatkan kita untuk terus berbakti. Tapi di sisi lain, untuk keluarga yang tidak mampu, adat ini seperti hukuman, ibaratnya sudahlah jatuh ditimpa tangga. Sedih.
But, itulah adat istiadat di sana, buat merubah semua itu mungkin bisa, tetapi tidak mudah, mungkin mendekati mustahil. Saya nggak tahu sampai kapan adat ini akan dijalankan di sana, but now, saya menikmati sangat, walaupun kadang berat.
Ditulis untuk memenuhi tantangan #ODOP.
No comments:
Post a Comment