Thursday 4 December 2014

Edisi Nostalgia : Tradisi Weh-Weh Rantangan

Saya berasal dari sebuah desa kecil di daerah Ngawi, Jawa Timur berbatasan dengan daerah Madiun. Di daerah saya, ada sebuah tradisi yang sampai sekarang masih dijalankan, biarpun mengalami perubahan ke arah yang lebih praktis dan modern. Tradisi itu salah satunya adalah "weh-weh". Cara membacanya adalah dengan huruf "e" seperti pada kata "tokek", bukan huruf "e" yang ada pada kata "beras".

Weh-weh artinya dalam bahasa indonesia adalah ngasih-ngasih, atau memberi ke beberapa orang.

Tradisi weh-weh dilakukan pada bulan puasa menjelang lebaran Idul Fitri. Biasanya dimulai pada tgl 21 Ramadhan. Weh-weh adalah tradisi memberikan makanan kepada saudara yang lebih tua dan juga orang-orang yang dihormati seperti guru ngaji atau sesepuh desa. Biasanya orang yang sudah menikah akan memberikan weh-weh kepada saudara baik dari sisi sang suami ataupun istri, orang tua, kakek/nenek, om/tante baik dari bapak ataupun ibu, pakdhe/budhe baik dari bapak ataupun ibu dan guru-guru ngaji serta sesepuh desanya. Bisa dibayangkan betapa banyak masakan yang disiapkan.

Pada jaman saya masih kecil dulu, biasanya pada masa weh-weh ini, akan banyak beredar anak-anak kecil yang hilir mudik mengantarkan makanan ini ke sana kemari. Kok anak kecil? Iya, biasanya orang tua akan menyuruh anaknya yang mengantarkan makanan-makanan ini ke rumah-rumah penerimanya. Dengan begitu secara tidak langsung anak-anak itu akan mengenal siapa saja saudara mereka dan siapa saja yang dihormati oleh keluarganya. Bijak ya pemikirannya?

Makanan yang diantarkan biasanya diantar menggunakan rantang susun. Seperti ini :
Isinya beragam, tapi biasanya tidak jauh-jauh dari seperti ini :
1. Nasi putih (Biasanya nasi putih itu ditaruh di dalam rantang yang paling bawah);

2. Kering Tempe

3. Mie Goren. Di daerah saya jarang yang memasak mie goreng dengan kecap, jadi ketika ada yang mengantar rantang dengan mie goreng berkecap, biasanya saya umpetin, nanti saya yang makan, hahahahaha.

4. Telur Rebus atau telur disambelin

5. Sambel goreng kentang (isinya kentang dan lain-lain sesuai kemampuan ekonomi pengirim), menu kesukaan saya kecil dulu;

6. Ayam (Jumlah dan cara memasaknya juga sesuai kemampuan pengirim, ada yang berbentuk ayam panggang, ayam kecap, ataupun ayam yang disayur bersama tahu);

7. Tahu (biasanya tahunya dimasak kecap atau sayur);

8. Tumis taoge dan kol atau tumis buncis.



Variasinya macem-macem ya, bisa 1,2,3,4 atau 1,2,5,6,7 dan lain-lain disesuaikan dengan kemampuan yang mengirimkan makanan.


Untuk orang yang benar-benar diutamakan, ayam biasanya berbentuk satu ayam panggang utuh. Hmm..yummy,,,hehe

Anak-anak yang disuruh weh-weh biasanya bermuka ceria sekali. Haha. Seperti saya dulu, soalnya biasanya orang yang kita beri makanan, akan memberikan "sangu" pada kami sang pengantar, besarannya bervariasi. Dulu jaman saya masih SD besarannya 1000-5000, pas saya sudah SMP naik menjadi 3000-10.000 entah sekarang sudah berapa pasarannya. Biasanya inilah yang menjadi angpau lebaran kami. Terkadang satu musim lebaran kami bisa mengantongi uang 100 ribu atau lebih (tahun 90'an) tergantung banyaknya tujuan pengantaran. Banyak bukan? :D

Di sisi lain, bagi orang-orang tua dan yang dihormati, harus sedia uang banyak-banyak. Uang ini disiapkan untuk memberi "sangu" bocah-bocah pengantar nasi tadi. Hihihihi. Jaman dulu ibuku sampai harus nabung dan irit-irit karena yang mengantar makanan ke rumahku banyak banget, sampai ada gunungan nasi, mie, telur dan keringan tempe di dapur. Ini serius.

Setiap hari ibuku bisa menerima lebih dari 10 set makanan, dan itu berlangsung sampai H+7 lebaran. Bisa dibayangkan betapa enegnya kami sama menu-menu itu. Apalagi kalau tidak habis ibuku akan dengan terampilnya menghangatkannya kembali. Ugh...

Akhirnya ibuku mempunyai tugas baru. Setiap malam sehabis sholat magrib di musholla, ibuku mengajak para tetangga ke dapur untuk memilih dan membawa pulang makanan yang ada di rumah kami. Saking kami juga ga bakal bisa menghabiskan,,ahahahaha.

Yang masih saya ingat, saya kecil bisa menghafal orang-orang mana yang isi rantangnya saya suka. Hihihi. Bertugas menjadi tukang yang memindahkan nasi dari rantang pemberi ke baskom milik kami sendiri, membuat saya selalu tau apa isi rantang yang diantar ke rumah saya. Walaupun setahun hanya sekali, saya bisa hafal mana saja yang saya suka isinya begitu orang yang mengantar datang. :D

Setelah saya besar, banyak orang-orang yang mengubah tradisi ini. Yang semula semua antaran berbentuk nasi rantangan seperti tadi, berubah menjadi bahan makanan seperti gula, minyak goreng, mie (baik mie kering maupun mie instan), telur dan atau kue-kue kering. Tapi masih ada juga yang antarannya masih seperti dulu.

Sisi positif perubahan ini adalah ibuku tidak harus bingung kebanyakan makanan matang yang menuntut untuk dimakan, tapi sisi negatifnya, mungkin saat aku nanti sudah tua, tradisi ini sudah hilang entah kemana.

Aaaaaaaaahhh,,jadi kangen pulang :,)

Ini tradisi di daerahku, bagaimana di daerahmu?

2 comments: